16. MARAH : Antara Rasa dan Tanggung Jawab

31 20 0
                                    

Hari Minggu Pagi
Awal Hari yang Berat, aurora tiba di sekolah pagi-pagi dengan wajah pucat. Sakit giginya kambuh lagi, dan kali ini lebih menyiksa. Ia bahkan melewatkan sarapan karena rasa nyeri yang menjalar hingga ke kepala. Sepanjang pagi, Aurora hanya diam, bekerja sama dengan teman-temannya untuk menyelesaikan gaun lomba fashionshow tanpa banyak bicara.

Sebagai gantinya, ia menggunakan isyarat tangan atau mengirim pesan jika membutuhkan sesuatu. Meski keadaannya begitu, Aurora tetap ingin menyelesaikan tugasnya dengan baik. Tak lama lyra yang baru saja datang langsung menghampiri aurora.

Saat Aurora sedang menggunting plastik, Lyra tiba-tiba mendekatinya. Wajah Lyra tampak tak nyaman, seperti ada sesuatu yang ingin diutarakan.

“Ra, gue minta maaf ya,” ucap Lyra pelan.

Aurora berhenti menggunting dan menatap Lyra, seolah mencari jawaban di wajah temannya itu.

“Gapapa kok,” jawab Aurora akhirnya paham dengan senyum tipis. “Gue sama Antariksa juga nggak ada hubungan apa-apa. Santai aja.”

Lyra tampak lega dan tersenyum bahagia. Tak ada lagi kesalahpahaman di antara mereka. Ia pun menawarkan bantuan. “Sini aku bantu, Ra.”

Aurora menyerahkan gunting cadangan, dan mereka mulai bekerja bersama. Lyra sempat melakukan hal-hal konyol, seperti membuat kacamata dari kertas, yang membuat Aurora tersenyum meski sakitnya belum hilang.

Kebahagiaan kecil itu menular ke teman-teman sekelas. Mereka semua tertawa bersama, menikmati momen kerja sama hingga siang hari, sebelum akhirnya pulang satu per satu. Aurora dan Lyra berjalan bersama keluar sekolah, berbincang ringan sepanjang perjalanan.

── ⋆⋅☆⋅⋆ ──

Di depan Kelas
Sementara itu, di depan kelas, Rafael dan Felicio sedang bersantai. Seorang perempuan datang mendekati mereka, tampak serius.

“Rafa, gue mau ngomong sesuatu,” ucap perempuan itu.

Rafael menanggapinya santai, sampai perempuan itu berkata, “Kayaknya Aurora nggak suka deh kalau Antariksa sama Lyra jadi pasangan kelas kita.”

Rafael terkejut. “Kenapa lo bisa bilang gitu?”

“Tadi malam gue lihat Aurora sama Eve di aula. Mereka kayaknya lagi bahas lomba fashionshow, tapi Aurora kelihatan nggak suka,” jelas perempuan itu.

Rafael mulai berpikir serius. Ia takut masalah ini akan memengaruhi kekompakan kelas mereka. Namun, Felicio mencoba menenangkan. “Lo percaya? Aurora orangnya nggak kayak gitu, Raf.”

Tapi ambisi Rafael untuk memenangkan lomba membuatnya gelisah. Ia segera mengirim pesan di grup kelas:

Grup Kelas
"SOCIAL 1 Pride"

"HASIL SUDAH SEPAKAT, UDAH KELAS 2 SMA, PAKE PIKIRAN DEWASA DONG! JANGAN KEKANAK-KANAKAN. SEKELAS ITU BUAT SALING BANTU, BUKAN NUMPANG NILAI. STOP PILIH-PILIH, SEMUA HARUS JALAN BARENG. NGGAK ADA YANG NGANGGUR DI SINI!"-Rafael




Disisi lain di ruang musik
Setelah latihan paduan suara, Aurora sedang beristirahat di aula ketika ia membuka grup kelas. Pesan dari Rafael langsung menarik perhatiannya.

Eve yang duduk di sampingnya menyadari perubahan raut wajah Aurora. “Kenapa, Ra?” tanyanya.

Aurora menunjukkan pesan itu tanpa berkata apa-apa. Eve membacanya dan ikut terkejut. “Kayaknya ini ditujukan ke lo nggak sih?”

Aurora mengangguk kecil. “Iya, gue juga mikir gitu.”

"Tapi itu kayak bukan ketikan Rafael, coba liat lagi" Ucap Eve

"Mungkin aja, gue sama Rafael udah kenal lama dan gue udahtau gimana sifat dia" Jawab Aurora

“Tapi kenapa dia ngirim itu?” tanya Eve penasaran.

Aurora berpikir sejenak sebelum menjawab, “Mungkin karena gue punya rasa sama Antariksa. Gue juga ngerasa semua anak kelas udah tahu soal itu. Tapi gue sadar, kalau gue nggak punya hak buat nentuin dia harus sama siapa. Gue sama Antariksa juga nggak ada hubungan apa-apa.”

"Tapi di situ Rafael kayak marah banget" Ucap Eve

Aurora berpikir sejenak. "Kalaupun Rafael mikir gue ga setuju sama hasilnya kenapa? Emang gue bakal marah? Ucap aurora sedikit bingung

"Kalaupun gue marah gue harus marah kesiapa? Gue aja ga tau yang milih antariksa sama lyra siapa, ya kali kan gue marah ke antariksa ataupun lyra" Ucap aurora pasrah

Eve menatap Aurora dengan kagum. “Aku suka cara berpikir kamu, Ra. Logis, tapi tetap pakai hati.”

Aurora tersenyum lemah. Meski merasa sedikit terluka, ia tahu ini bukan saatnya untuk memikirkan hal-hal yang tidak penting.

"Hidup itu bukan tentang apa yang kita rasakan, tapi bagaimana kita memilih untuk merespons. Kadang melepaskan bukan berarti kalah, tapi justru cara untuk menenangkan perjuangan diri sendiri."



"Terkadang, menyimpan rasa itu memang berat. Tapi seperti Aurora, kita selalu punya pilihan untuk berpikir jernih dan tetap melangkah. Gimana menurut kalian? Apakah Aurora sudah mengambil sikap yang benar? Share pendapat kalian di kolom komentar, ya! Jangan lupa nantikan bab berikutnya, karena cerita ini masih penuh kejutan!"






Euphoria : Fly to the moonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang