BAB 14: Penyesalan Memang Selalu Belakangan

88 18 4
                                    

PIKIRANNYA mulai dipenuhi oleh perkataan seseorang yang sudah menemani dirinya sejak kecil itu. Pandangan Jigar tertuju ke depan, memori-memori di masa kecilnya yang selalu bersama Stella menarik rasa sakit yang kian menguat dalam dirinya.

Penyesalan memang selalu belakangan. Banyak perandaian di kepala laki-laki bertubuh tinggi itu. Seandainya sejak dulu ia mau mendengarkan penjelasan Stella, semua ini mungkin tidak akan terjadi.

Kebencian memang berhasil merenggut salah hal terindah dalam hidupnya. Tuhan memang tak pernah salah dalam membuat makhluk-Nya merasakan penyesalan setelah melakukan kesalahan.

"Mikirin apa? Kesambet baru tau rasa." Seseorang muncul dibelakang Jigar sembari menepuk bahunya membuat cowok itu langsung melemparkan tatapan elangnya.

"Santai, Bro. Santai," ucap Damian sembari terkekeh pelan. Seakan tak memperdulikan keberadaannya, Jigar terlihat kembali memandang lurus ke depan. Perubahan sikap temannya itu pun sontak membuatnya kebingungan, "lo kenapa anjir? Ketempelan setan markas?" tanyanya ingin tahu.

"Diem."

Satu kata yang berhasil membuat Damian terdiam tak mau lagi mengganggu Jigar yang saat ini memancarkan aura mengerikan.

Kaki jenjang Damian pun perlahan berjalan mundur menjauhi Jigar takut-takut jika lelaki itu melemparnya dari lantai dua sekolahnya tersebut karena kesal.

"Kenapa tuh bocah?" tanya Latif yang juga ikutan bingung dengan sikap Jigar.

Bukannya apa, tetapi hari ini Jigar terlihat aneh dan lebih sering melamun. Diajak bercanda oleh teman-temannya pun cowok itu hanya membalas dengan deheman. Latif bahkan lebih memilih jika Jigar mengeluarkan kata-kata pedas dan menusuknya itu dibanding hanya diam saja.

Damian menggeleng pelan, "ruqyah lah yok?" ajaknya sungguh-sungguh.

Mendengar perkataan Damian tersebut membuat seseorang yang tengah berdiri sembari menyenderkan tubuhnya di dinding kelas dengan posisi tangan masuk ke dalam saku itu memutar bola matanya malas, "bego jangan dikembang biakkan gitu lah," sindir Attha.

"Gue ngasih saran demi kebaikan temen lo, Tha!" pekik Damian heboh sembari memegang kedua bahu Attha dan menatap kedua bola mata cowok itu berusaha menyerukan keseriusannya.

Baihaqi yang melihat itu pun sontak menjitak kepala Damian, "stop dramatis. Gue udah berusaha nahan mules dari pagi. Jangan malah lo nambah rasa mules gue," cibirnya.

"Ya, kalau mules tinggal boker," balas Damian santai.

"Gue nggak bawa sabun."

Lathif pun reflek memandang Baihaqi dengan tatapan jijik. "Gue nggak yakin lo se-higenis itu sampai bawa sabun segala kalau mau boker di sekolah," tuturnya.

"Lo aja yang nggak tau. Sabun itu bagian dari ritual boker gue," ucap Baihaqi.

"Udah deh mending lo pada diem! Pusing kepala gue denger orang bahas boker dari tadi," sewot Attha.

Seorang Attha yang dulunya sabar tampaknya lambat laun kesabarannya sudah habis. Ibarat tissue di belah dua, kesabaran cowok itu saat ini benar-benar tidak ada saat menghadapi teman-temannya.

"Lo hamil, ya, Tha? Sensi banget pagi-pagi. Morning sickness, ya?"

Bugh!

"Sakit bangsat!"

Damian menyentuh tulang keringnya yang baru saja ditendang kuat oleh temannya itu. Niatnya untuk membalas perbuatan Attha itu langsung ia urungkan saat sang empu melemparkan tatapan penuh permusuhan padanya.

"Santai aja dong, Tha, mandangnya. Bahaya kalau lo naksir gue. Gue nggak mau jadi rakyat pelangi tiba-tiba, ya," ucap Damian.

Bugh!

EPHEMERALTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang