Bab 11

1.1K 184 5
                                    


Cila menahan napas mendengar pertanyaan sang mama. Ia mengamati gaunnya yang kusut masai dengan rambut berantakan. Menyadari lupa memeriksa wajah untuk memastikan kalau make-upnya juga berantakan. Berusaha untuk tidak mengendus bau tubuhnya yang beraroma parfum laki-laki. Apakah Adiar memakai parfum yang sama dengan sang papa? Kenapa mamanya tahu soal ini? Cila diserang beragam dugaan yang membuat jantungnya berdebar tak menentu. Jangan sampai terlihat panik atau sang mama akan curiga.

Apa yang dicurigai sang mama dari penampilannya? Akankah mengira dirinya habis bercinta dengan liar bersama laki-laki? Tidak seharusnya itu menjadi dugaan hanya karena gaun dan rambut kusut bukan? Cila memikirkan berbagai alasan untuk menangkis tuduhan sang mama.

“Penampilanmu sekarang seperti pelacur yang baru selesai menjajakan diri! Coba lihat di cermin! Memalukan!”

“Ma—”

“Apa? Jangan membantah kalau orang tua bicara!”

Makian sang mama memang kasar dan menyakitkan tapi Cila yang sudah terbiasa mendengarnya hanya diam saja. Takut kalau banyak bicara maka rahasianya akan terbongkar. Terserah sang mama mau bicara apa, ia siap mendengar sampai selesai tanpa mencela. Yang membuatnya terganggu adalah cara Cahyani yang berdiri sambil berkacak pinggang dan menunjuk dengan bengis. Seolah Cila sudah melakukan kesalahan besar seperti menghilangkan nyawa orang atau membuat bangkrut keluarga.

“Kamu ini sudah tua, adikmu saja nggak sabar pingin sarjana karena ingin cepat kerja. Kamu yang sarjana lebih dulu malah nggak tahu diri. Bukannya cari uang malah senang-senang terus. Okelah, kamu hari ini ada pesta di tempat Mika. Pesta anak perempuan kecil itu tapi kenapa pulang dalam keadaan kusut begini?”

Cila mendesah. “Nggak cukup soal pekerjaan apa sekarang penampilanku harus dikritik juga, Ma?”

“Mama bicara jujur! Kamu harus berubah! Mau sampai kapan begini? Punya pekerjaan tapi gaji pas-pasan. Punya teman hanya dua, nggak bisa bantu kamu apa-apa. Padahal Mika menikah dengan orang kaya, Baskara sendiri juga keluarganya nggak miskin.”

“Memangnya apa yang Mama harepin dari mereka? Membantu soal apa?”

Cahyani mengangkat bahu. “Entahlah, mungkin suami Mika bisa mengenalkan cowok kaya untukmu atau apa, Baskara bisa—"

“Stop! Mama jangan ngomong apa-apa lagi.” Cila mulai kesal sekarang. Merasa sang mama terlalu ngelantur. “Gaunku kusut karena main sama anak-anak. Bau parfum laki-laki? Mama lupa yang jemput aku Baskara? Dari pada bau rokok, dia semprot parfum ke mobil. Soal bantuan, aku bisa mandiri dan apa-apa sendiri. Nggak butuh orang lain untuk menolongku!”

Setelah melontarkan serangkaian kebohongan, Cila bergegas pergi meninggalkan sang mama. Awalnya ia mencoba bertahan tapi lama kelamaan tidak bisa lagi memendam emosi.

“Cilaa! Kenapa kamu kabur gitu aja. Mama belum selesai bicara!”

Tidak pernah ada pembicaraan dua arah antara sang mama dan Cila. Dirinya dipaksa untuk mendengar, tanpa membantah, tanpa amarah, tidak boleh ada rasa tidak puas. Satu-satunya orang yang waras di rumah ini hanya Cila dan sang papa. Setidaknya dari sudut pandanganya.

Cila bahkan tidak pernah menangis lagi meski mendapat pedas dari sang mama. Sudah terbiasa meski rasa sakit mencengkeramnya. Ia tidak boleh kalah oleh makian dan umpatan, tidak boleh menyerah pada keadaan dan belajar lapang dada.

Mengambil design dan membuka di meja kerja, Cila mulai mengerjakan apa yang sudah dilakukannya. Design yang akan ditunjukkan untuk Marta kalau dirinya diberi kesempatan untuk memperlihatkannya. Entah kapan waktunya tiba, ia akan menunggu. Ia meraba bahan yang dibeli tadi, menyiapkan peralatan dan mulai mengerjakan. Bahan warna hijau daun di tangannya diharapkan bisa menjadi gaun yang indah. Saat berkutat dengan desgin, bahan, dan alat-alat, Cila lupa dengan kesedihannya.

Cinta SemalamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang