Pemilik Ikat Rambut Merah Muda

896 218 129
                                    

Selamat Malam Mingguuuu

Aku suka dehhh kalau komennya semangat banget kayak kemarin. Chapter ini juga bisa dong harusnya 🔥🔥🔥

Salurkan semua emosi kalian ke Awan!!!

Salurkan semua emosi kalian ke Awan!!!

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

‧₊˚ ⋅  𓐐𓎩 ‧₊˚ ⋅


Hari-hari di Mahawira jadi nggak menyenangkan sejak Awan kembali. Berapa hari memangnya? Satu... Dua... Oh, baru dua hari ternyata. Tapi gue sama sekali nggak merasa sekretariat adalah tempat yang gue nantikan untuk menghabiskan hari seperti biasanya.

"Kenapa uring-uringan gitu?"

Divya nggak hadir di depan Workshop ketika gue mendapat sindiran maut dari Awan malam itu. Dan ternyata anak-anak Mahawira cukup baik buat nggak menyebar luaskan kejadian itu ke yang lain. Gue sendiri juga masih heran, bisa-bisanya Awan bersikap seperti itu di depan sekian banyak orang. Bukankah biasanya kami selalu menjaga privasi —sebelum gue masuk Mahawira?

"Biasa, berantem sama yang itu tuh."

Vey mengode Awan dari arah pandang matanya, di tempat biasa dia menghabiskan waktu untuk numpang AC di sekretariat.

"Oh, okey. Kalau itu gue nggak ikut-ikut." Divya menyerah terlalu cepat. Tapi lagi-lagi gue nggak menanggapi dan memilih buat mengecek surat-surat yang dikirimkan Mbak Judy satu jam lalu.

Hari ini pekerjaan gue nggak banyak. Beruntung, jadi pulang lebih awal dan menghabiskan malam di kos adalah satu-satunya motivasi gue untuk bekerja dengan cepat. Mungkin gue akan menangis sedikit aja. Benar-benar sedikit aja, karena sampai saat ini gue belum mendapat ajakan berbaikan dari Awan. Gue sendiri... sepertinya nggak pernah memulai interaksi ketika kami ngambek satu sama lain sebelumnya. Gue nggak tahu bagaimana harus melakukannya.

"Kalau lo masih mau perbaikin ya ajak ngobrol. Tapi kalau gue jadi lo sih... ya ogah, apalagi cowoknya model fucekkkboy begini. Kata gue lo sabar dikit lagi, tunggu sampai dia ngajak ngomong duluan."

Kalimat Vey semalam gue simpan baik-baik di pikiran gue. Pokoknya, gue nggak boleh jadi orang pertama yang memohon-mohon di hubungan ini.

"Asha lagi apa?" Mas Enggar sepertinya punya hobi baru untuk menanyakan apapun ke gue ketika dia baru masuk sekretariat. Terlepas dari apakah dia melakukan ini untuk memata-matai gue atau murni sekadar iseng.

"Ngecek surat doang, Mas. Udah mau kelar kok."

Mas Enggar mampir sebentar untuk melihat surat-surat yang gue maksud.

"Kalau udah, mau langsung balik?"

Gue mengiyakan dengan cepat. Setelahnya, gue lihat Mas Enggar mengangguk-angguk dan berlalu begitu aja. Dia duduk di sebelah Awan, mengibaskan kausnya yang basah kuyup karena keringat.

"Ntar nembus subuh lagi?"

Pertanyaan itu dia layangkan ke Awan. Gue tahu karena setelahnya gue dengar Awan bilang. "Iyo paling."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: 3 days ago ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

DISASTER COMESSYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang