Rachella pikir, setelah ia bangun tidur dan mengompres kakinya dengan es sebelum tidur semalam. Kakinya akan membaik hingga dia bisa beraktivitas seperti sedia kala. Atau setidaknya, memar di kakinya sedikit berkurang hingga dia bisa melanjutkan agendanya hari ini.
Namun semua pemikiran itu terpatahkan begitu kakinya kian terlihat memar dan juga membiru. Tapi, Rachella tahu, jika ia harus menahan nyeri itu jika segala usahanaya untuk sampai di sini tidak menjadi sia-sia.
Rachella berusaha bangkit, sedikit meringis saat rasa nyeri itu kian terasa menggigit. Pagi ini adalah agenda meeting untuk kelanjutan acara, menjelaskan tentang tema gaun apa saja yang ia bawakan semalam. Dan itu sangat penting untuk menentukan kelanjutan hasilnya akan bagaimana. Apakah ia pantas untuk maju ke babak selanjutnya. Atau ia akan berakhir gagal dan kembali dengan segala kekecewaannya.
Rachella berhasil turun dari ranjang, melangkah sedikit tertatih saat kakinya terasa sangat nyeri dan sakit.
Tidak apa-apa, semua akan baik-baik saja. Batinnya. Berusaha mengsugesti dirinya sendiri.
Pukul sepuluh pagi Rachella turun dari kamarnya. Bergabung dengan peserta lainnya dan hendak melakukan sarapan bersama. Ada Arna yang sejak tadi berjalan bersamanya. Asistennya itu bahkan berkali-kali menanyakan keadaannya. Bagaimana kondisi kakinya.
Dan Rachella mengatakan jika segalanya baik-baik saja. Dia masih bisa berjalan meski dengan kaki sedikit pincang. Namun dia baik-baik saja. Meski beberapa orang sempat menatapnya penasaran. Beruntungnya ia membawa flat shoes, memudahkan kakinya untuk bergerak di saat terjadi keadaan seperti saat ini.
"Mbak, kayaknya kita harus ke rumah sakit. Kaki Mbak Rachel ... " Arna menatap pergelangan kaki Rachella yang memang terlihat membiru itu.
"Saya baik-baik aja kok, Na."
"Tapi, Mbak-"
"Habis sarapan ini saya harus ke tempat event. Kamu tahu kan kalau hari ini akan jadi keputusan apakah kita bisa masuk ke babak selanjutnya atau tidak?"
Arna mendesah, ia mengangguk pasrah pada akhirnya. Tidak lagi mendebat apalagi memaksa atasannya itu meski ingin sekali ia menarik atasanya itu untuk pergi ke rumah sakit saat ini.
Rachella tersenyum, meraih tangan Arna di atas meja. Menggenggamnya erat-erat. Yang langsung dibalas Arna dengan genggaman tak kalah erat.
"Na, doain, ya, semoga nanti saya nggak mengecewakan harapan kita."
Arna tersenyum. Kian menggenggam erat tangan atasannya itu. "Mbak, aku yakin kalau usaha kita nggak akan mengecewakan. Kemarin waktu lagi catwalk aku bisa liat gimana para juri terpana sama karya, Mbak, kok."
Entah itu hanya hiburan belaka, atau memang benar. Namun anggukan kepala Rachella membuktikan jika ucapan itu cukup membantu suasana hati Rachella yang tadi sempat gundah.
"Mbak, harus semangat. Aku yakin kita pasti bisa maju ke babak selanjutnya, Mbak."
"Ya, semoga aja, ya, Na." Balas Rachella. Kian menggenggam erat tangan Arna. Dia sudah merasa takut dan cemas sejak tadi. Dia takut jika semua tidak akan berjalan sesuai keinginannya. Karna kali ini adalah satu-satunya harapannya.
Acara sarapan itu harus sudah disudahi begitu supir panitia mengatakan jika mereka sudah harus pergi. Karna acara akan diadakan satu jam lagi.
Acara hari ini akan berlangsung melelahkan mengingat ada lebih dari lima puluh orang yang mengikuti acara kali ini. Rachella bahkan mulai cemas saat melihat ada banyak saingannya yang benar-benar begitu menabjubkan hasil karyanya. Membuat dia merasa sedikit nervous.
Namun dia tahu, dia harus percaya diri jika dia ingin menang kali ini. Harapannya tidak boleh hancur sia-sia karna luka kecilnya.
Meski harus menahan nyeri dan sakit, Rachella berhasil melangkah ke depan podium, membiarkan semua pasang mata menatap ke arahnya. Layar proyektor di belakangnya seketika menyala, menampilkan beberapa karyanya yang ia suguhkan semalam.