Sejak kecil, Varius selalu di perlakukan kasar oleh ayahnya, yang bertujuan agar Varius selalu tetap siaga menghadapi masalah apapun. Namun bukan itu yang di inginkan Varius
***
Saat masih anak-anak dia sering mendapatkan perilaku kasar oleh sang ay...
Tangan lentiknya masih saja menggenggam erat tanganku, menarik tubuhku kesatuan tempat yang bahkan aku pun tidak tahu kemana tujuannya. Mataku hanya memperhatikan cara tubuhnya naik-turun akibat berlari, dengan rambutnya yang tetap saja akibat mengkilat.
Langkah kakiku begitu cepat, mengikuti kecepatan bagaimana ia menarikku. Suara dari daun dan ranting yang terindah, seperti lantunan melodi indah. Rasa sakit di kakiku seakan kaku tidak berpengaruh dengan pikiranku, yang penasaran apa yang akan terjadi selanjutnya.
"Kita sampai!" Teriaknya, melepaskan genggaman tanganku, dan senyum lebarnya, dengan bangga menunjukkan rumah kosong, tepat didepan.
"Ini rumah siapa?" Tanyaku, dan dia hanya terkekeh pelan lalu mendekati wajahku.
"Tempat rahasiaku, dan sekarang rahasiaku telah kubagikan kepadamu"
Faye cekikikan, lalu dia menggenggam lagi tanganku. "Ayo, aku harus mengobati luka mu, kan?" Katanya, dengan wajah seperti burung betina yang ingin menunjukkan hasil kerja keras nya dalam membuat sarang.
Dia menarikku masuk kedalam rumah kosong itu, melihat betapa suram dan menyeramkan daru bentuk bangunan yang tidak terawat, wallpaper dinding yang terkelupas dan robek dimana-mana.
Serta debu yang hampir menutupi setiap sudut tembok dan lantai, dihiasi dengan tanaman merambat disekitar tembok, yang tumbuh diluar halaman rumah, lalu merambat---masuk kedalam melalui celah jendela.
"Duduk disini" perintahnya, menunjukkan bantalan empuk yang tergeletak dilantai, dengan dikelilingi lilin dan lampu-lampu yang mungkin saja sudah rusak?
Duduk dengan dikelilingi banyak lilin cukup mencengangkan, ini seperti sedang ingin melakukan ritual sesat.
Mataku memperhatikan setiap gerakannya, jari lentiknya menyalakan korek api yang digesek, lalu menyambarkan apu itu ketali lilin satu-persatu. Yang menyala hanya lilin-lilin itu saja, tidak dengan lampu rusak itu.
Dia tersenyum dan duduk dihadapanku. "Kau siap?" Tanyanya dengan wajahnya yang terkekeh cahaya dari lilin, seperti senter yang dinyalakan dibawah dagu.
Aku mengangguk pelan, dan tangannya meraba kakiku, mengelus perbankan, dan dia memejamkan matanya, lalu suatu lingkaran bercahaya muncul di kening nya. Membuat mataku terbelalak terkejut.
'Been this way before'
'All you can do is try to know'
Aku melihatnya terus bernyanyi dengan suara indah, rambut hitamnya menghilang dan berubah menjadi biru bercahaya, dan tangannya mengeluarkan cahaya kebiruan, memancar keseluruhan atap rumah.
Seperti lampu yang menyinari setiap sudut kegelapan. Bersinar terang. Suara indahnya memenuhi indra pendengaranku setiap bait yang dia nyanyikan sungguh, menenangkan hatiku. Merdu, syahdu, mempesona, dan harmonis.
Perlahan dia membuka matanya, dan kilauan cahaya itu meredup dari rambutnya, namun warnanya tetap sama ice blue yang berkilau.
"Kau sudah sembuh" ujarnya tersenyum padaku, dengan jari lentiknya yang lembut, perlahan ia membuka perban dikakiku. Dan benar saja luka bakar di kaki ku menghilang sempurna. Tidak ada bekas ataupun jejak yang merapatkan antara kedua kulit.
"Bagaimana bisa?" Seru ku gugup, bingung, takjub, takut. Dia penyihir kah?
"Aku..-" Sebelum Faye dapat menyelesaikan kalimatnya, teriakan suara nenek mengejutkan kami. Nenek meneriaki namaku berkali-kali.
Bersamaan kami menoleh kearah suara, lalu Faye merangkak mundur dalam kegelapan menjauhi diriku.
"Tenang saja Faye, itu hanya nenekku"
"Iya aku tahu, tidak apa..aku hanya ingin merunduk saja"
"Apa maksudnya itu?" Tanyaku bingung menatapnya. Tidak yakin apa yang harus kulakukan.
Terdengar suara nenek semakin keras memanggil namaku, mencari-cari dimana ku berada. Sepertinya dia sangat khawatir.
"Lebih baik kau kesana saja, Varius, nenek mengkhawatirkan mu" ujarnya menyuruhku pergi, dan perlahan aku berdiri dengan kakiku yang sembuh, tidak merasakan sakit ataupun nyeri disetiap kakiku menampung tubuhku.
"Aku tidak mungkin meninggalkanmu sendirian disini, ayo ikut" ajakku mengulurkan tanganku. Dia menggelengkan kepalanya.
"Tidak terimakasih, aku disini saja" jawabnya singkat, dengan senyuman manis tersungging dibibir nya.
"Baiklah..terimakasih Faye" Kataku ragu, dan perlahan berjalan pergi sesekali aku menoleh meliriknya dan melambaikan tanganku.
Perlahan aku membuka pintu, dan terlihat sebintik cahaya yang bersinar diantara gelapnya hutan. Dan perlahan cahaya itu semakin besar, itulah nenek yang sedang membawa lampu lentera dengan raut wajahnya begitu khawatir dan senang melihatku.
"Astaga Ius! Kamu kemana saja?!"
"Kau membuat nenek khawatir!" Rengek nenek khawatir, mengelus rambutku dengan tangan keriput gemetar nya. Seakan aku ini adalah barang berharga miliknya.
"Maaf nek, aku tadi kepantai, terus kesini" Jelas ku, sembari menunjuk rumah kosong dibelakang ku.
Nenek melihat kearah yang kutunjukkan, lalu dia menarik tanganku kasar. "Jangan kesini lagi! Disini berbahaya, ada siluman nya loh"
"Siluman? Siluman apa?" Tanyaku, sembari menyeimbangkan langkahku dengan langkah cepat nenek, meskipun langkahku besar tapi jika disuruh jalan cepat-cepat, aku bisa sedikit tersangkut dengan kakiku sendiri.
"Ada pokoknya! Kamu gak usah tahu"
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.