15 - saksi

28 2 2
                                    

Reinanta's POV

Persidangan kasus Brandon ditayangkan di berbagai channel TV nasional pada Rabu siang yang cerah.

Proses sidangnya cukup intens sampai aku merasa perlu menyembunyikan diri di balik selimut tebal untuk menyaksikannya lewat ponsel. Siswa-siswi tersebar di berbagai ruangan dalam kompleks Segara yang menyediakan televisi. Aku dan Fildzah adalah pengecualian. Fildzah tidak terlihat tegang sama sekali dengan kenyataan bahwa dia lah penyalur pertama screenshot WhatsApp di menfess pagi buta waktu itu. Dia sibuk makan potongan apel di meja belajarnya, santai, seolah-olah dia sudah punya ide untuk melepasku kalau-kalau aku ikut menjeratnya dalam skenario terburuk: tertangkap basah oleh pihak Brandon. Fildzah bahkan sempat berkelakar "kalau lo tiba-tiba ketahuan sama pihak Papanya Brandon, gue bantu lo kabur dari belakang".

Sampai detik ini aku tidak bisa memutuskan harus sepenuhnya percaya padanya atau tidak.

Aku melirik bagian atas layar ponsel yang hari-hari terakhir ini sepi notifikasi, konsekuensi dari menonaktifkan akun Twitter dan berhenti dari segala kegiatan mengedukasi orang-orang yang tebal muka dan tebal kuping tentang isu gender dan hak-hak perempuan. Media sosial dengan ikon burung biru itu memberikan efek traumatis meski menurut Harsa aku tidak perlu terlalu khawatir karena screenshot itu bukan bukti utama untuk memvonis Brandon. Menurutnya, Papa sudah menjamin bahwa keadaan di waktu sidang akan aman dan namaku tidak akan terlibat.

Aku masih merasa mau pingsan tiap mengingat kenyataan bahwa aku pada dasarnya baru saja berusaha memasukkan anak orang ke penjara.

Ruang persidangan nampak sesak dari sorotan kamera wartawan. Wajah-wajah yang bisa kukenali adalah Pak Budiman Tirtayasa, Evander, Pak Surya Dharmadjie, Bu Yeni Dharmadjie, dan Kang Iwan. Sisanya lagi sepertinya orang-orang dari Heliconia Hotel yang berada di sekitar TKP pada hari kejadian serta kerabat dari pihak Brandon dan Bianka. Channel yang kugunakan untuk stream ini juga menyorot kondisi di luar Pengadilan Negeri. Ramai. Sesuai prediksi. Brandon sendiri memang bukan pribadi yang terlalu diperhatikan publik, tapi di dalam sana ada dua wajah salah satu partai terbesar dan tertua di Indonesia: Pak Budiman Tirtayasa, ayah Brandon, dan anak pertamanya, Evander. Ada Pak Surya Dharmadjie, ayah Bianka, pebisnis tersohor yang menguasai pasar bahan pangan. Selama dua tahun terakhir, Bianka juga cukup terkenal di media sosial dengan channel Youtube-nya. Tahun lalu, dia sering membuat podcast dengan koneksinya terkait pendidikan dan isu sosial. Tahun ini, atau setidaknya beberapa bulan terakhir ini, semenjak dia dilantik menjadi ketua Dewan Siswa dan sebelum dia tiba-tiba menghilang dari Segara, dia membagikan kesehariannya di Segara dengan goals menyeimbangkan kehidupan organisasi, akademik, dan hobi. Konten sederhana dan lurus.

There is a reason why she was the first female leader of Dewan Siswa. She was a perfect representation for both internal and external parties in Segara. She was so bright in my memory.

Bianka nampak sudah kelelahan sejak dia memasuki ruangan. Dia terus-terusan menunduk di tempatnya, menggenggam tisu yang dilipat untuk mengusap wajahnya yang sembap.

Tapi lebih dari siapapun di ruangan itu, Brandon-lah yang paling pucat dan kosong.

Meski tidak berada di tempat itu, aku ikut sesak dan hampa. Bianka-lah yang paling terluka di sana, tapi aku tidak yakin lagi bahwa Brandon benar-benar orang yang semestinya duduk di kursi terdakwa.

30 menit pertama berlangsung dengan rasa berdebar yang sia-sia. Jaksa Penuntut Umum yang membacakan dakwaan cenderung bertele-tele. Kolom komentar live sempat dipenuhi protes warganet karena proses yang lama tersebut. Aku tidak bereaksi sama sekali, sibuk bersembunyi di balik selimut saking cemasnya kalau tiba-tiba barang bukti yang berkaitan denganku akan dipertanyakan. Mataku banyak mengawasi gerak-gerik pengacara Brandon kalau-kalau dia terlihat mengantisipasi sanggahan terhadap hal-hal yang dibacakan oleh jaksa.

Proses eksepsi berjalan tanpa masalah. Dalam aspek formal, pengacara Brandon tidak punya sanggahan apapun.

Aku berguling menghadap tembok ketika jaksa memanggil nama-nama saksi. List-nya mungkin tidak terlalu panjang, tapi masing-masing saksi diminta bersumpah atas nama Tuhan dan melewati fase pengecekan identitas oleh jaksa. Proses ini juga terasa menjemukan.

Lalu tiba-tiba seseorang dengan kemeja garis-garis vertikal hijau putih berdiri.

"Kami memanggil saksi Saharsa Triadi untuk memberikan kesaksian."

Jantungku merosot dari tempatnya.

Ranjangku berguncang. Fildzah memanjat tangga, menarik selimutku sampai kami bersitatap. Jauh berbeda denganku yang pucat, dia justru menyeringai.

"See? Lo aman."

Aku ingin mencekiknya sampai pingsan.

Segara OperationTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang