Brandon's POV
I didn't expect that being kidnapped would be this boring.
Om Ikram palsu yang belakangan mengenalkan diri sebagai pria bernama Lukas—it's obvious that it's not his real name—kini sedang duduk bersebrangan denganku, menghapus make up-nya dengan ambisius dan agak jengkel. Sisa suasana menegangkan di asrama tadi sudah hilang sama sekali karena aku familiar dengan sosoknya, meski sekarang tidak tahu apakah dia sedang melindungi atau memperalatku. Aku menontonnya menghabiskan kapas dan make up remover sejak beberapa menit lalu sambil melahap keripik kentang.
"Kalau jadi intel gitu cuannya berapa sih, Om?"
Om Lukas terkekeh dengan wajahnya yang belepotan noda hitam eyeliner. Aku jadi ingin tertawa juga melihatnya begini, tapi memang bukan pekerjaan mudah untuk meniru fitur wajah Om Ikram yang matanya tajam itu. "Tergantung jabatan. Tapi saya sih, bandel. Saya ambil proyek manapun yang bayarannya besar."
Oh, berarti memang pragmatis. Dia membawaku ke sini untuk uang. Besar kemungkinan aku akan pulang tanpa lecet karena mana mungkin juga dia mau mata orang se-Indonesia tertuju padanya karena menculik anak gubernur.
"Tapi siapa bilang saya intel? Gimana kalau saya cuma mata-mata dan detektif swasta?"
Hahaha. Brengsek.
"Kayaknya beberapa tahun lalu saya tahunya Om bawa pin, kok."
"Itu banyak di marketplace, Brandon."
"Jaman saya kecil belum umum, ah, jual beli online."
"Emangnya pekerjaan saya kelihatan umum di mata kamu?"
Well, no.
Aku tersenyum setengah hati. Om-om ini memang bukan tandingan adu mulut yang menyenangkan seperti Pak Hananto. Oh, I miss that man.
Setelah beberapa menit yang membosankan, Om Lukas membuang kapas-kapas kotor dan mengembalikan makeup remover ke lemari besi di sudut ruangan. Gerak-geriknya luwes, seperti di kantor miliknya sendiri. Ruangan ini memang tidak terlalu luas, tapi bersih dan tertata. Rasanya agak gila untuk mengingat bahwa ruangan ini berada di dalam toilet sebuah restoran timur tengah. Salah, bukan. Bukan "di dalam" toilet, tapi satu lantai "di bawah" toilet. Tadi, rute untuk masuk ke sini adalah: memasuki lorong restoran, masuk ke bathroom stall untuk toilet laki-laki, masuk sampai bertemu "janitor room" di dekat urinal terakhir (yang ternyata bukan ruangan untuk menyimpan alat kebersihan, melainkan pucuk anak tangga untuk turun), turun, lalu masuk ke ruangan ketiga, and here we are now. Aku jadi penasaran dengan dua ruangan di sebelah ruangan ini dan apakah yang di depan tadi benar-benar restoran timur tengah atau sekadar tempat fisik untuk menyembunyikan praktik cuci uang.
"Kita ngobrol aja, ya, biar kamu ngerti kenapa Om bawa ke sini."
Om Lukas kebetulan berbicara setelah aku minum air putih, jadi aku mengeluarkan sendawa keras-keras. For the vibes.
"Sebenarnya saya nggak penasaran, sih, Om."
"Harus penasaran, lah. Habis dari sini kamu antara Om antar ke kantor polisi atau pulang ke rumah kamu, loh."
"Oh?"
Pria itu terbahak. "'Oh'? Are you insulting?"
Kakiku mendorong roda kursi putar tempatku duduk untuk menabrak dinding, lalu aku bersandar di punggung kursi dan mengesah. "Saya udah diingetin sama Abang saya buat jaga sikap biar kampanye Papa nggak ada hambatan, tapi saya beneran udah jaga sikap. Saya tuh, baru putus, Om. Kelakuan saya paling jelek cuma main perempuan, dan nggak separah itu juga. Saya, kan, masih SMA. Terus habis putus, saya bukannya semakin sukses 'berkarir' malah jadi apa coba? Tempat curhat cewek-cewek yang mau have fun sama saya!"
"Ini juga kamu lagi curhat sama saya."
"Anak pejabat juga manusia kali, Om... saya tuh perlu didengerin." kata-kata norak itu keluar dari mulutku tanpa kusaring benar-benar dari kepala. Masa bodoh, lah. If everyone fuck around with my life for their career, I too can make some jokes about this funny life.
Meski begitu, Om Lukas tetap berbaik hati dengan tertawa renyah. Dia mengataiku dengan hal yang sudah ratusan—kalau bukan ribuan—kali kudengar seumur hidupku. "Kamu nggak cocok, ya, jadi politisi. Saya pikir kamu tipe yang mirip-mirip si Evan. Dia, kan, agak lebih kaku. Waspada, lah. Kamu off-guard banget saya lihat-lihat. Nggak takut keceplosan rahasia Papa kamu?"
"Mau keceplosan apa juga, Om? Orang-orang juga udah tahu kalau nggak ada gunanya deketin saya buat kepentingan yang ada kaitannya sama Papa. Kan, ada Evan." jawabku praktis. Aku berputar kursiku sekali lagi sebelum akhirnya kembali ke topik awal. "Saya kena tuduhan apa, sih, Om? Kasus perdata atau pidana?"
Pertanyaanku dijawab sambil tersenyum seolah-olah kami tidak sedang membicarakan pelanggaran hukum yang dituduhkan padaku. "Pidana. Ada kaitannya sama yang kamu curhatin tadi."
I squint my eyes in disbelief. "Perempuan?"
Om Lukas kelihatannya sudah malas juga berpanjang-panjang. "Pelecehan seksual. Kamu dituduh melakukan pelecehan seksual ke mantan pacar kamu, Bianka Dharmadjie. Ada buktinya."
Now this is an insult.
Sisa humorku hilang seketika. Tubuhku melemas. Me? Doing that disgusting stuff to my ex-girlfriend? The same girl who kept me in my grieving stages for so long? Isn't it obvious that I'd rather throw myself off a hill than hurting her?
I know I could never talk to everyone in this world about love, about my love to my ex, especially not with my reputation in Segara for being "a player", but isn't this too far? I have never and probably never would be a moralist, tapi ini adalah tuduhan yang menghinaku secara pribadi dan dengan kurang ajar mempertanyakan nilaiku sebagai seorang manusia dengan akal sehat. Ini menghina kemanusiaanku. Lalu menggunakan mantan pacarku sebagai korban dari tuduhan tidak masuk akal ini?
This is all beyond human grasping.
Sama seperti saat-saat moralitas dan akal sehatku diguncang realitas pekerjaan Papa, sensasi mual mengaduk-ngaduk perutku lagi. Kepalaku terasa ringan. So this is why she broke up with me? Karena rencana Papanya mengarah kemari? Sejauh ini? Sampai dia keluar dari Segara?
Secangkir teh hangat disuguhkan padaku. Om Lukas kehilangan roman cerahnya. Aku juga jadi tidak bisa tidak curiga dengan teh yang asapnya mengepul-ngepul di hadapanku ini. Om Lukas ini siapa? Dia di pihak siapa? Sekadar tukang peras dan tukang rampok? Orang petahana? Who can guarantee me that this tea doesn't contain any poison?
"Makasih, Om."
And another irksome thing about being related to a politician is that you got to keep a poker face. Pride, maybe, but mostly defense.
![](https://img.wattpad.com/cover/363226404-288-k365345.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Segara Operation
Ficțiune generală[ ⚠️ CONTENT WARNING ⚠️ mention of sexual assault, sensitive issues, politics] Selain kantor pemerintahan, Segara adalah tempat paling rawan skandal yang pernah kuketahui. Ada anak anggota dewan di kamar asramaku, anak pengusaha perusahaan furnitur...