Suara halus gesekan antara kuas dan canvas itu menggema dalam sebuah loteng rumah tua. Ruang gelap yang sunyi, hanya ada lilin dan sinar bulan yang menerangi. Tak menyurutkan sang penguasa kuas untuk berhenti menggoreskan imajinasinya pada benda persegi empat dihadapannya. Senyuman tak pernah sirna dari bibir itu. Matanya berbinar, menyimpan banyak harapan disana.
"Semoga, semoga, semoga..." hatinya berkata, bibirnya bergumam.
Ketika sang fajar mulai menyingsing, kantuk menyerang gadis pelukis itu. Senyuman kembali mekar dibibirnya, memperhatikan karya seninya. Do'a kembali terucap dari bibirnya, berharap kali ini tak mengecewakan lagi seperti yang lain-lain. Senyum kecut tercipta ketika kedua bola matanya menatap sendu pada beberapa lukisan yang telah terabaikan.
"Semangat, Kinal! Kali ini kamu bisa!"
Badannya menggeliat sejenak sebelum mengambil posisi nyaman diatas tempat tidur. Istirahat sebelum siang nanti kembali berburu penikmat karyanya.
Bertahun-tahun, ia bertahan hidup dengan tangan dan peluhnya sendiri. Mengais rejeki, berusaha mencapai impiannya. Menjadi seorang pelukis mahsyur layaknya sang idola, Affandi. Semangatnya tak luntur walau banyak yang tak menanggapi hasil karyanya.
Kadang sebuah penyesalan terselip ketika ia ingat masa lalunya. Membangkang atas perintah orang tuanya, menolak untuk meneruskan pendidikan, memilih untuk mengejar impian dengan bakat yang dimilikinya. Menjadi pelukis.
"Keluar! Kalau kamu tak menuruti keinginan ayah untuk jadi sarjana! Bawa kuas dan canvas bodoh kamu! Dasar anak tidak tau diri! Bukannya senang diberi pilihan enak, malah membangkang! PERGI JAUH BAWA IMPIAN TOLOL KAMU ITU!"
Mimpi itu datang lagi, tersentak ia dari tidur lelapnya. Penyesalannya tak pernah lenyap, tapi takdir sudah membawanya pada kehidupannya yang nyaris tak terarah. Setelah kepergiannya dari rumah, Kinal mendengar kabar bahwa kedua orang tuanya meninggal dalam sebuah kecelakaan ketika mereka sedang mencarinya. Bayang-bayang dosa terus menghantuinya. Hingga detik ini...
Memikirkan itu, membuat matanya berkaca-kaca. Segelas air putih ditenggaknya hingga habis. Memang mungkin ini hanyalah impian tololnya semata. Tapi Kinal berikrar, pantang ia berhenti mengejar impiannya sampai tangannya lenyap.
=================
Langkah kakinya terasa berat, keringat mengucuri pelipisnya, panas siang ini benar-benar mendera. Sedikit umpatan kecil keluar dari bibirnya. Kinal menggertakkan giginya berulang kali, tak menemukan satu pun pembeli untuk hasil karyanya. Harapannya mulai luntur ketika sore menjelang. Sirna sudah impiannya. Karyanya yang ke tiga ratus ini pun tak memberikan senyum indah untuknya.
"Ya Tuhan, boleh aku untuk melupakan dirimu sejenak? Jadikan aku untuk menyerah. Musnahkan hidupku saja. Aku lelah menahan dosa. Bertahan hidup tak tentu arah..." lirihnya.
Sebuah museum tua pinggir jalan, menjadi tempat istirahatnya sejenak. Kakinya sudah tak kuat untuk mengelilingi hiruk pikuk kota Jakarta. Lukisannya ia sandarkan pada dinding gedung, tubuh lelahnya pun tak kalah untuk ikut duduk. Sekilas ia pandangi sebuah lukisan abstrak menyerupai sebuah gambar kupu-kupu dalam suasana gemerlap malam. Matanya terpejam perlahan, lelah mengantarkan kantuk untuknya.
Seseorang yang sejak tadi memandangi dari kejauhan itu perlahan mendekat. Melangkah ragu dan takut-takut, matanya tak lepas dari lukisan Kinal. Sebuah senyuman miris terukir di bibir tipisnya.
"Kupu-kupu bersayap putih? Kupu-kupu di malam hari tak pernah seindah ini. Pelukis payah..." cibirnya pelan.
Perempuan itu berjongkok, memperhatikan lukisan dihadapannya dengan seksama. Makna tersirat begitu jelas dalam lukisan ini, pikirnya sinis sekali sang pelukis menggambar hal semacam ini. Tangannya menggapai tas yang terselip dibahunya. Beberapa lembar uang kertas ia keluarkan, kemudian digeletakkan diatas perut sang pelukis. Dalam diam, ia melenggang pergi membawa lukisan itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Painter and Butterfly
FanfictionHanya melukis yang kutahu. Andai melukiskan cinta, yang kutahu hanya dirimu. Jadi cinta yang kutahu adalah dirimu. Wahai kupu-kupu malamku. Kemarilah, dan kau kujadikan bidadariku. Aku mencintaimu, Veranda.... Oh Nona pelukis, hidupku gelap walau te...