Selamat membaca:)
Salam,
-ananda.p.a-***
Setelah meletakkan baju dan barang-barang lainnya di koper, kupandangi tempat ini. Kos-kosan yang hanya memiliki 1 ruangan yang lumayan besar untuk lemari, alat memasak, serta kamar mandi di sudut ruangan.
Aku akan merindukan tempat ini, tempat dimana aku berlindung dari teriknya matahari, serta guyuran hujan, yah... walaupun tempat ini ada yang bocor. Oh tak masalah lah. Aku bukan tipikal cewek lembek yang akan teriak frustasi hanya karena rumah yang bocor. Bukan aku sekali!
Dan... Damar! Ia memang sudah benar-benar pergi. Tadi dia meneleponku, dan mengatakan bahwa ia sudah sampai di sana, barusan katanya. Pria idaman, bukan? Memberi kabar tepat saat turun dari pesawat. Oh shit! Jangan berfikir bahwa aku jatuh cinta!
***
Dan hari ini... Setelah melihat hasil kelulusan yang alhmadulillahnya aku lulus dengan hasil yang memuaskan -Bravo, Gadis! Haha- , aku pergi ke terminal bus untuk pulang ke rumah asliku, rumah nenek, rumah yang membesarkanku sampai aku memakai seragam putih biru. Dan setelah tinggal di Bandung untuk melanjutkan sekolah beasiswa, kini aku akan menetap di Surabaya.
Butuh waktu kira-kira setengah hari untuk sampai ke Surabaya. Yah apalagi jika bukan faktor bis yang macet. Hidupku berubah ketika orang tua ku meninggal dan seluruh kekayaannya ludes tak tersisa untuk melunasi hutang perusahan mereka. Apa aku mantan orang kaya? Jangan sebut seperti itu. Sebut gadis miskin saja sudah cukup.-Surabaya-
Sampailah pada bangunan gedung bertingkat 2, gedung tua dengan tembok penuh corat-coret, tulisan-tulisan kotor, dan tempat yang kotor. Hm... Memang gedung yang tak lagi digunakan.
Ku lihat seorang laki-laki berpenampilan preman dengan sebatang rokok menyala ditangannya sedang bersandar di pagar gedung tua itu. Aku yang lupa dimana arah rumah nenek menghampirinya untuk bertanya.
"Permisi. Kakak, saya ingin bertanya alamat ini. Kakak tahu?" Aku menyodorkan kertas berisi alamat nenek padanya.
"Jarang sekali ada orang yang lewat sini. Dan kau tidak takut?" Dia menjawab sinis dengan pertanyaan lain setelah melirik kertas sekilas.
"Untuk apa takut? Ini jalan umum." Aku yang mulai jengah dengan pria ini, mulai sedikit meninggikan suaraku.
"Ini jalanku! Dan siapapun yang lewat sini, harus memberiku uang lima puluh ribu! Cepat mana berikan uangmu!"Aku benar-benar ingin meledak ketika dia dengan beraninya meminta uang padaku. Ralat! Bukan meminta tapi memaksa! Hell! Dia siapa? Dia pikir aku takut? No! Gadis bukan cewek lemah!
"Heh kau siapa? Memberimu uang? Apa tidak salah? Kapan kau membangun jalan ini yang jelas-jelas bukan jalanmu!"Saat dia akan melayangkan tangannya ke udara -mungkin hendak memukulku- tiba-tiba tertahan oleh tangan milik orang lain. Aku yang tidak mengerti bahkan tidak takut sekalipun mereka berdua akan memukulku hanya diam saja.
"Mana alamatnya?" Laki-laki yang menahan tangan preman itu menarik kertas dari tanganku.
"Kau lurus saja, sampai pojok sana belok kanan. Setelah itu disana ada beberapa gang. Gang alamat yang ada di kertas ada di daerah sana. Cari saja." Dia menunjukkan arah dengan manis sekali. Dan senyumannya pun manis sekali. Jangan salah artikan dengan jatuh cinta!
"Dan kau Liam, berhenti mengganggu mereka yang lewat disini. Kau adikku. Jagalah sikapmu."
Oh jadi namanya Liam. Wajahnya yang tampan tertutup oleh dandanannya yang seperti preman. Berbeda dengan kakaknya -yang namanya belum kutahui- dia lebih berpakaian sopan. Kemeja putih yang dibalut jas kecoklatan dan celanan yang senada serta sepatu pantofelnya. Seperti orang kantoran. Tapi.. Apa adiknya seperti ini?
"Bukan urusanmu, Aston. Dan kau, jangan pernah muncul dihadapanku!" Nada bicara yang dingin ia lontarkan pada Aston dan aku. Aku salah apa? Ck! Aku hanya memutar bola mataku. Memangnya aku peduli.
"Dan jangan pernah memanggilku kakak. Aku tidak pernah menikah dengan kakakmu." Setelah dia mengatakan itu, sebuah ide muncul dikepalaku.
"Oh baik OM! Terimakasih! Sampai bertemu kembali, OM! Haha." Aku sengaja menekankan kata OM. Suruh siapa tidak mau dipanggil kakak. Dan aku semakin mengencangkan tawaku ketika dia berbalik dan menunjukkan jari tengahnya padaku. F*ck, too, om!
Aku hampir lupa dengan Aston, ups! Kak Aston yang masih berdiri di tempatnya.
"Terimakasih kak... em.. Kak Aston." Aku berterimakasih sembari tersenyum padanya.
"Sama-sama. Maaf atas kelakuan adikku, Liam, padamu. Dan kau, kau tidak takut dengan dia? Bahkan orang yang lebih tua darimu takut dengannya."
Aku hanya menggelengkan kepala disertai cengiran kudaku.
"Untuk apa takut? Aku sama dengannya. Sama sama manusia, bukan?"
Kak Aston hanya menganggukkan kepalanya dan tersenyum manis padaku. Manis sekali.
"Mau ku antar?" Lanjutnya."Tidak terimakasih, kak. Aku permisi dulu. Sampai jumpa."
Aku mulai melangakah meninggalkannya setelah Kak Aston mengangguk dan membalas lambaikanku.
***
Saat aku tiba. Nenek menyambutku dengan sayang. Sama seperti dulu. Tidak ada yang berubah. Hanya usianya yang semakin tua dan keriput yang sudah ada dibagian-bagian kulitnya.
Hari ini, aku menghabiskan waktuku dengan nenek. Menceritakan hidupku semasa di Bandung. Dan menceritakan Damar sebagai sahabat terbaikku. Hingga nenek bertanya tentang kekasihku, aku hanya menggeleng dan berkata,
"Aku tidak ingin punya pacar dulu. Gadis gak mau kasih sayang Gadis terbagi. Gadis cuma sayang nenek."
Hafftt.. Untung saja aku punya alasan yang tepat. Dan memang itu benar.. Aku hanya sayang nenek.
~•~
Terimakasih telah membaca:)
Please vote and comment, guys!:v
Selasa, 3 November 2015
09.42
Salam,
-ananda.p.a-
KAMU SEDANG MEMBACA
PREMAN Jatuh Cinta
RandomGadis Permata Ayu Wanita polos yang tak pernah takut sedang merasakan detakan jantungnya yang tak pernah normal jika bertemu dengannya. Liam Valdini Pria yang ditakuti banyak orang karena ulahnya yang mencuri dan tawuran, tengah merasakan kembali ja...