Rindu

446 17 0
                                    

Woahh.. uda dua ribu aja pembacanya. Mwehehe, makasih ya, ai lof kalian mwah :v :v

===================================

Menikah.

Liam akan menikah, mungkin saja. Aku tak lagi melihatnya seminggu setelah kami menjenguk papanya. Bahkan dua sahabatnyalah yang lebih sering bermain ke rumah hanya menggelengkan kepala saat ku tanya dimana Liam.

"Aw! Sss!" Aku meringis merasakan nyeri pada jariku.

"Astaga! Kamu ngga papa Dis?" Sergah Dafa ikut memegang jariku yang tersayat.

"Nggapapa kok. Aku cuci tangan dulu. Daf, tolong kupas kentangnya." Ucapku lalu pergi meninggalkan dapur menuju kamar mandi.

Saat mencuci luka di jari tengah, entah kenapa sebuah pikiran konyol melintas di kepalaku.

Pingsan.

Kenapa aku tidak pingsan saja? Mungkin Liam akan ada di sampingku saat aku membuka mata, ya, seperti waktu itu.

Kenapa--

"Arghh!!" Aku berteriak kala dadaku semakin sesak ketika mengingat Liam.

Tok tok tok

"Dis, kamu kenapa? Dafa bilang jarimu kena pisau."

Jika bukan nenek yang bersuara, mungkin aku akan melempar botol shampo untuk menghentikan ketukan pintu itu.

Aku memang ingin sendiri.

"Oh nenek udah pulang? Nggapapa kok nek, cuma kena sayat aja. Habis gini Gadis keluar."

Saat keluar dari kamar mandi, tampaklah raut khawatir dari wajah nenek. Namun tak hanya itu, ekspresi iba juga tercetak walau tidak terlalu kentara. Aku mengedikkan bahu dan tersenyum pada nenek.

"Nenek istirahat dulu aja. Biar Gadis sama Dafa yang masak." Ucapku sembari mengajak nenek untuk duduk di ruang tamu dengan televisi menyala yang menampilkan berita harian.

"Loh, Fai kemana?"

"Gadis suruh beli es teh di luar. Nenek tunggu sini ya." Ujarku sambil berlalu.

Saat sampai di dapur, aku hampir saja melempar Dafa dengan mangkok plastik kalau saja aku tidak ingat jika dia sudah menjadi temanku.

"Dafa!!! Astaga!!!" Teriakku dan langsung menghampirinya.

"Astaga, Dis! Kamu mau buat sini jantungan?!" Balas Dafa dengan teriakan yang tidak kalah kerasnya.

"Wortelnya ini kamu apain ha?! Kenapa motongnya besar-besar haduuuu."

"Nggapapa. Biar cepet selesai. Lagian wortelnya banyak tuh." Ujar Dafa dengan santainya.

"Kan bisa disimpan. Ngga semua dipake tolol!" Aku ngga peduli dengan kata kasar yang kulontarkan padanya.

"Ngomong gitu ke bos berani ga Dis?"

Dan juga, aku ngga peduli dengan ucapan Dafa yang mampu membuat perasaan ini kembali lagi semenjak dua minggu yang lalu.

"Ciee, lagi mikir bos Liam ya?"

Bahkan, aku tak pernah serindu ini ketika mendengar namanya.

***

"Eh kok gue ngga pernah liat si bos lagi ya? Dis lo tau ngga?" Tanya Fai memulai percakapan setelah kami berempat selesai makan. Ingin rasanya melempar sendok yang masih kupegang ketika tahu bahwa Fai bertanya padaku.

"Dia juga ngga pernah datang kesini. Emang dia kemana?" Nenek pun juga ikut bertanya padaku.

Jadi, sebelum Dafa ikut bertanya, kulemparkan saja pertanyaan yang sama ke Dafa, "Iya nih. Om preman kemana, Daf?" Dan jawabannnya hanya kedikan bahu yang menandakan ia tidak tahu keberadaan Liam.

Aku memang belum menceritakan apa saja yang terjadi di tempat papa Liam dirawat waktu itu. Bahkan aku tidak tahu apa yang terjadi ketika aku pingsan, tau-tau aku terbangun dengan ruangan yang berbeda, waktu itu aku sudah berada di kamarku. Saat kutanyakan pada nenek, katanya Liam sempat minum sebentar lalu pergi lagi.

Pisau lipat kecil yang biasa dibawa Liam tau-tau juga ada di atas novel yang belum selesai kubaca. Entah sengaja ditinggalkan atau tidak, aku tidak tau. Kalaupun itu sengaja, tapi untuk apa? Untuk kenang-kenangan sebagai souvenir pernikahan Liam dengan wanita pilihan papanya? Mungkin saja Liam mempunyai pikiran bahwa aku tidak akan datang ke pernikahannya. Tapi masa si souvenirnya pisau lipat? Bekas lagi. Beh.

Tapi poin tidak sengaja juga tidak tepat menurutku, kenapa? Atau dia mau mencoba membunuhku? Hadu lupakan itu.

Aku kacau. Benar-benar kacau.

"Kok ngelamun si?" Teguran nenek membawaku kembali ke dunia nyata.

"Engga kok."

"Tapi seingetku, Liam ngga muncul lagi sehabis njenguk papanya kan? Dan itu sama kamu, Dis. Jadi aku yakin si kamu tau apa yang terjadi." Ucap Dafa dengan mengangkat salah satu alisnya.

Mampus! Aku lupa kalo Dafa otaknya agak encer ketimbang Fai. Eh ngga maksud ngehina Fai juga kok.

"Aku nggatau, beneran." Jawabku memandang piring, aku tidak berani menatap mereka.

"Kamu ngga bisa bohong ke nenek, Dis. Memangnya ada apa? Apa yang terjadi?" Ucapan lembut nenek, tatapannya, bahkan sentuhan halus telapaknya mampu membuatku luluh.

Sejenak aku terdiam, menarik nafas sebanyak mungkin. Enggak. Ini bukan saatnya untuk menumpahkan semuanya, "Liam mau nikah, dijodohkan papanya." Ucapku cepat.

"NIKAH??" Ucap mereka bersamaan.

"Jadi ini yg buat kamu pingsan kata nenek?" Dafa bertanya tanpa menghilangkan rasa terkejut di wajahnya

"Yang aku tau cuma itu. Aku pingsan gara-gara belom makan, bukan gara-gara Liam mau nikah. Kalo Liam mau nikah ya nikah aja udah, ngapain kalian pake bingung? Tinggal nunggu undangan kan?"

Setelah mengucapkannya dengan panjang lebar dan mendapat berbagai ekspresi dari mereka, aku berdiri, aku butuh menenangkan diriku.

"Gadis ke kamar ya, mau tidur dulu."

Saat sampai di anak tangga, sebuah teriakan dari Fai mampu membuatku mematung, "kangen si bos kan? Kamu juga cemburu ya kan?" Tanpa menoleh, aku meneruskan langkahku menuju kamar.

***

Aku tidak pernah merasakan ini sebelumnya. Aku sudah mencoba menghindar dari semua yang mampu membuat luka yang tak nampak. Setelah kepergian mama dan papa yang menorehkan ribuan luka di hati, saat itu juga aku berhenti untuk berharap pada sesuatu.

Bukannya ngga ngeikhlasin kepergian mereka, tapi tetep aja rasanya beda kalo ngga ada mereka. Sejak saat itu juga aku ngga mau kenal yang namanya jatuh cinta. Karna aku sudah kehilangan mereka yang paling aku cintai. Cinta pertamaku, ayah, pergi meninggalkanku. Bahkan ibu, tempat dimana surgaku berada juga pergi meninggalkanku.

Jatuh cinta.

Apa aku sudah benar-benar jatuh cinta pada Liam?

"Tapi kenapa bisa?!" Teriakku sekeras mungkin.

Sekali lagi aku berteriak tanpa takut terdengar dari luar karena volume radio yang sedang memutar musik sudah kubesarkan. Jadi aku bisa-

Tunggu. Sepertinya aku tau lagu ini.

Selama aku
Masih bisa bernafas
Masih sanggup berjalan
Ku kan slalu memujamu
Meski ku tak tahu lagi
Engkau ada dimana
Dengarkan aku
Ku merindukanmu

Sepertinya radio juga sedang mencemoohku. Sial! Kalo aja ini radio bukan punya papa dulu, pasti sekarang udah jadi dua atau lima bagian.

Tapi jujur, aku merindukannya, sangat merindukannya.

===================================

Fiuh..

Sekali lagi makasih buat Dua ribu pembaca Preman Jatuh Cinta, mwah mwah :*

Terus baca yaa..

C u

Sabtu, 14 Jan ; 13.45

-ananda.p.a-

PREMAN Jatuh CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang