Bertemu [again]

907 39 4
                                    

Selamat membaca;)

Semoga menghibur para readers yang membaca:v

Salam,
-ananda.p.a-

***

Ketukan di pintu yang sedikit nyaring membuatku memaksakan untuk membuka mata.

'Pasti nenek'

Siapa lagi kalau bukan nenek. Selalu begitu. Bahkan sampai menggedor pintu dengan keras jika aku tidak bangun.

"Bangunlah. Sarapan, Gadis!" Teriak nenek dengan suara khas lansia-nya.

"Baiklah, nek. Aku mandi dulu." Balasku dengan suara serak khas orang bangun tidur.

***

Bau nasi goreng yang menyentuh indera penciumanku membuat perutku seketika berbunyi. Masakan nenek tidak pernah berubah. Selalu saja menggoda.

"Maaf ya. Nenek tidak masak yang lain."

Aku menghembuskan nafas kasarku. Sudah berapa kali aku bilang jangan bilang begitu. Aku tidak peduli entah harus makan apa. Aku sudah terbiasa makan seadanya.

Selama makan berlangsung, nenek banyak bercerita tentang dirinya selama aku tidak disini. Ternyata, saudara jauh nenek -yang tidak kuketahui- sering mengirim uang pada nenek, lewat pos.

***

Hari ini aku berencana berjualan kue buatan nenek di sekeliling daerah ini. Pastinya setelah berdebat panjang lebar dan nenek hanya menghela nafas kasar sambil berkata,

'Kau belum berubah. Tetap keras kepala.'

Dan seperti biasanya, aku hanya memamerkan deretan gigi.

***

Saat ini aku sudah ada di dekat tol dengan sepeda kayuh dan keranjang kue dibelakang. Yap! Saat ini aku sedang menjajakan kue nenek.

"Berikan aku makan! Cepat!"

Aku mendengar suara itu. Sepertinya tidak asing bagiku. Aku menghampiri asal suara itu, dan menemukan Liam dan dua temannya sedang duduk manis di salah satu warung, dan penjual pun merasa ketakutan. Sepertinya aku tahu apa yang terjadi.

Awalnya aku tak peduli. Namun melihat penjual yang ketakutan, langsung saja menghampiri mereka. Benar dugaanku, Liam dan dua temannya terkejut melihatku. Namun Liam dengan cepat menyembunyikan wajah terkejutnya dengan wajah datar.

"Ada apa kau kemari? Tanya alamat lagi? Heh, dasar bocah!"

Oh God! Aku benar-benar ingin mencabik-cabik mulut dan wajah tampannya. Eh? Tampan?

"Eh om om tidak tahu diri! Kenapa seenaknya meminta. Tidak kasihan, ha?!"

Aku tidak peduli dengan penjual yang terkejut karena dengan beraninya aku membentak Liam.

"Sudah nak, jangan. Biarkan saja. Pergilah." Penjual dengan sopannya menyuruhku pergi. Namun aku tidak peduli. Melihat wajah melasnya sepertinya Liam dan temannya sudah seringkali berbuat seperti ini.

"Pak, bu. Pergilah. Mereka aku yang urus."

Dan benar saja. Saat ini Liam sedang menoleh padaku dengan rahang mengeras dan mata yang melotot.

"Kumohon."

Lagi. Aku tidak memperdulikan tatapan Liam yang jujur sempat membuatku sedikit takut. Tapi lihat, aku tidak akan takut! Dan penjual pun pergi dengan wajah sedikit lega dan takut.

PREMAN Jatuh CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang