Sebelumnya aku hanya seorang siswi pindahan biasa. Biasa dalam segala hal. Nilai akademisku tidak bagus juga tidak buruk. Aku tidak mengikuti ekstrakulikuler apa pun. Aku tidak tinggi dan juga tidak cantik, apalagi terkenal. Aku memiliki beberapa orang teman baru di sini walau tidak ada yang benar-benar akrab. Datang sekolah, duduk manis mendengarkan pengajar, lunch di kantin, obrolan basa-basi dengan sesama murid, tertawa sedikit atau mungkin banyak (tergantung dengan bahan obrolannya), belajar lagi, lalu pulang.
Membosankan? ya begitu lah hidupku. Tapi aku cukup menikmatinya dan bahkan sangat berharap bisa kembali ke masa itu. Dimana aku hanya menjadi seorang siswi biasa .
****
Aku berjalan cepat menuju ruangan Mrs. Anderson. Gila sudah terlambat 20 menit dari janji temuku dengan beliau. Bisa berkicau panjang dia. Di ujung koridor terdengar suara bentakan, kekehan beberapa orang lalu isakan. Rasa penasaran menjalari tubuhku. Dengan langkah kaki yang semakin memelan, aku merubah arah tujuanku. Mataku membelalak sempurna melihat pemandangan di depanku. Tiga pria tampan dan dua wanita super cantik sedang berdiri mengelilingi Patricia, teman sekelas ku yang cukup terkenal. Patricia terlihat acak-acakan. Bajunya sudah amburadur, rambutnya yang pirang cantik itu sudah berantakan tak jelas. Wajahnya udah tak dapat ku deskripsikan. Eyeliner sudah berseluncur dengan indah di wajahnya, matanya bengkak karena menangis, lipstik yang biasanya menempel dengan mempesona di bibirnya sudah belepotan tak jelas.
"Sekali lagi ku dengar kau membicarakan hal buruk terhadap temanku, ku habisi kau Jalang" suara berat yang sexy terdengar membuat rambut-rambut halus di tengkukku berdiri.
Patricia terus terisak sambil memeluk tubuhnya sendiri. Tubuhnya bergetar. Aku ketar-ketir melihatnya.
Ya ampun, aku ingin melangkahkan kakiku menjauh. Tapi sungguh aku tak tega. Bully sudah sangat sering terjadi di sekolah ini, tapi aku tak pernah menyaksikan bully fisik secara langsung. Catat Bully fisik! Aku tak pernah melihatnya. Ini tidak bisa dibiarkan. Tak boleh, aku harus melakukan sesuatu. Ayo pikir Ruby!! pikir...
"Sedang apa kau di situ?" suara berat tadi kembali terdengar menginterupsi sel-sel otakku yang sedang berdiskusi di dalam tempurung kepalaku. Mata hijau jernih menatapku, kalau situasi tidak genting begini, ku jamin aku pasti sudah tenggelam dalam tatapan matanya yang tajam. Omaigad! Aku ketahuan dan yang paling parah adalah .... i've no idea. Niat hati mau bantu orang malah ketar-ketir sendiri.
"Kau sendiri, apa yang kau lakukan!!" ucapku lantang dan tanpa dipikir. Shiit!!! kenapa suara ku malah terdengar menantang.
Matanya menatapku tak suka, bukan hanya dia, teman-temannya pun melihat ke arahku sekarang. Patricia juga.
"Aku sedang mengajarkan tata krama pada jalang ini" ucapnya dingin sambil mengedikkan bahunya menunjuk Patricia.
"Tata krama? Huh?? Yang ku lihat sepertinya kau yang harus diajari tata krama. Ini sekolah, tempat menuntut ilmu. Yang kau dan teman-temanmu lakukan .... ini Bully!" Hebat.. aku mengucapkan pidato yang keren. Mataku juga masih dengan kerennya menatap pria tampan di depanku ini. Padahal dadaku berdebar ketakutan.
Rahang pria yang tak kutahu namanya ini mengeras, ku lihat ia menatapku semakin tak suka, jika tatapan bisa membunuh kurasa aku sudah mati berulang kali. Dia tinggi sekali dan aku kerdil sekali. Kami masih adu pandang saat kurasakan dorongan kuat di bahu kiriku. Perempuan bak barbie mendorong bahuku keras.
"Pergi kau dari sini, bila tidak ingin seperti dia" ucap si barbie dengan pandangan benci padaku.
Aku hanya melihat si Barbie sekilas, lalu melangkahkan kaki ku ke arah Patricia.
"Ayo" ucapku sambil mengulurkan tangan ke arah Patricia. Sebelum jariku disambut. Si barbie sudah mencengkram lenganku kuat. Kuku-kuku tajamnya yang dipedicure indah -sepertinya mahal- sepertinya akan meninggalkan bekal di lenganku.
"Kami belum selesai dengan dia"
Ku tepis tanganya tak kalah kuat.
"Memangnya aku peduli" ucapku nyolot. Well hebat juga aku berperan sok heroik. Kalau tadi dia sudah benci padaku, kupastikan saat ini dia benci kudrat padaku.
"Biarkan dia pergi" Sekali lagi suara berat itu terdengar. Matanya menatapku dengan cara merendahkan dan seolah-olah menelanjangiku. Perasaanku tak enak.
Dia mendekatiku perlahan bak predator mendekati mangsanya. Jemarinya memerangkap bahuku erat. Hangat nafasnya bermain-main di hadapan wajahku.
"Kau salah memilih lawan, Aku akan bermain denganmu nanti dan kau takkan suka itu" ucapnya pelan namun ku yakin dapat didengar oleh semua orang di ruangan ini. Ku lihat ia tersenyum pongah, melepaskan tangannya dariku.
Ku tarik Patricia berdiri lalu berlalu dari ruangan itu. Punggungku panas merasakan tatapan mereka. Perasaanku sungguh tidak enak.
Ku lirik jam tanganku, 15.45 . Siaaaallll!! aku telat 45 menit.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bullying! (ONGOING)
General FictionNamaku Ruby dan satu sekolah mengenalku. Tapi itu bukan hal yg patut dibanggakan. Aku bahkan ingin seperti invisible womam yang dpt tak terlihat. Hanya karena satu hal aku harus berurusan dengan pangeran iblis itu! si tampan yang menjanjikan kesengs...