3_ Hurt...

2.6K 270 17
                                    

Verrel tiba di apartemennya, letaknya tidak begitu jauh dari tempat kost Illy. Ia baru saja membuka pintu dan langsung disambut adegan panas di tengah ruangan dengan penerangan temaram. Seketika itu juga ia mengalihkan pandangannya. Bukannya romantis, pemandangan itu justru membuatnya ingin mengeluarkan semua isi perutnya, mual, sebegitu menjijikannya. Memang itu bukan yang pertama, tapi tetap saja memuakan jika menyadari mungkin itu juga bukan yang terakhir kali ia melihatnya, entah secara sengaja atau tidak.

Dua orang yang terlihat tengah melayang di atas sofa itu pun tersadar dan buru-buru merapihkan pakaian mereka.

"Gak usah canggung, biasa aja, kali! udah biasa juga!" celetuk Verrel dingin. "Night, Dad! Have a tight hole!" pungkasnya seraya melangkahkan kaki menuju kamar tidurnya.

Verrel sampai di kamarnya dan membanting pintu sekeras mungkin. Rasanya itu masih belum cukup untuk melampiaskan semua amarahnya. Hatinya benar-benar panas menyadari betapa menjijikannya mempunyai seorang Ayah seperti itu. Ya, walaupun ia sudah sampai pada satu titik dimana tidak akan peduli lagi, ia tidak ingin menghabiskan waktunya untuk menyesali takdir. Lebih baik jika menghiasi takdir itu dengan sesuatu yang lebih indah.

Di saat-saat memuakan seperti itu, Verrel kadang menangis dan kembali mengingat mendiang Ibunya yang meninggal tiga tahun yang lalu. Seandainya beliau masih ada, maka Verrel tidak akan pernah tinggal dengan Ayahnya. Bahkan mungkin, tidak akan mengenalnya sama sekali. Karena Ibunya pun melakukan hal yang sama.

***

Verrel menangis, di atas sebuah pusara yang masih basah, dengan taburan bunga yang cukup tebal. Pagi itu berselimut awan mendung yang siap menangis untuk membasahi tanah yang baru saja kembali menerima satu jasad yang terbuat darinya dan akan kembali menjadi serupa dengannya.

Illy tidak pernah beranjak dari sisi Verrel. Ia ikut menangis saat melihat sahabatnya sejak kecil itu kehilangan sosok Ibu yang selama ini berjuang membesarkannya tanpa bantuan seorang Ayah yang entah sejak kapan meninggalkan mereka. "Jangan nangis lagi, Rell... tante pasti gak mau lo nangisin dia terus...."

Illy merangkul erat Verrel yang tidak menjawab ucapannya. Verrel justru menangis semakin kencang. Tubuhnya bergetar sambil meremas bunga di atas pusara itu. Illy tidak sanggup berkata apa pun lagi.

Malam hari setelah kematian Ibunya. Seorang pria dengan wajah indo, mirip dengan Verrel datang megunjungi rumah duka yang masih dipenuhi tamu yang melayat. Pria itu adalah Brian, ayah Verrel yang sejak lama tidak pernah kembali, meningalkan Verrel dan Ibunya begitu saja.

"Verrel...,” Brian menghampiri Verrel dengan wajah pilu.

"Kamu...." Verrel mundur, menjauh dari pria itu.

"Ini Dady, aku Dady kamu...." Brian terus berusaha mendekati Verrel.

Verrel yang kembali menangis akhirnya hanya diam, menerima pelukan Brian. Pria yang begitu dekat dengan hubungan darah mereka, tapi juga terasa sangat asing bagi.

"Jangan takut, Dady sayang kamu, kamu masih punya Dady…."

"..." Verrel masih membisu. Haruskah ia senang karena masih mempunyai seseorang untuk dijadikan sandaran hidup? Atau harus membenci pria itu, seperti ibunya yang juga membencinya sampai tidak sudi lagi menyebut namanya?

Tidak ada pilihan lain. Verrel akhirnya harus ikut dengan Ayahnya, pergi meninggalkan kota kelahirannya, Bandung. Dan menetap di Jakarta. Satu hal yang membuat kepindahannya menjadi begitu berat adalah, Illy. Sahabatnya sejak kecil yang selalu bersamanya dalam keadaan apa pun, sekarang harus ia tinggalkan.

"Lo beneran harus pergi? Lo bisa tinggal di rumah gue...." Suara Illy terdengar berat, seberat hatinya yang tidak ingin merelakan kepergian Verrel.

A Wallflower Love Story (AWLS)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang