9_ Unexpected!!!

2.1K 198 40
                                    

Illy terbangun, masih dengan sisa-sisa rasa takut semalam. Perlahan, ia menggerakan tubuhnya. "Awww...." Ia meringis. Luka-luka di tubuhnya belum sepenuhnya kering, luka lebam, goresan dan lecet di lengan dan lehernya. Belum lagi, luka di sudut bibir yang membuatnya harus menahan perih, bahkan untuk sekedar menggerakan bibirnya. Dan yang paling menyakitkan adalah, luka sabetan di bagian dadanya.

Ya, Illy bangun dan mendapati keadaan mengerikan di tubuhnya.

Detik berikutnya, Illy menoleh. Entah sejak kapan, sofa itu bergeser tepat di samping tempat tidurnya. Di situ, Verrel masih terlelap. Kemudian, ia melihat ke bawah. Di antara tempat tidurnya dan sofa, Al juga masih belum bangun, tidur sambil memeluk bantal. Pagi itu, Al memakai kaos yang ia tahu milik Verrel. Illy baru ingat jika yang menempel di badannya itu sweater Al yang sejak semalam belum ia lepaskan.

Illy tersenyum. Pemandangan itu cukup menghibur paginya. Dua wajah itu terlihat begitu polos dalam lelap. Tapi, seketika senyumnya lenyap saat menyadari tampang polos itu juga nampak babak belur, tidak jauh berbeda darinya. "Sorry... gara-gara gue kalian jadi gini...," lirihnya.

Illy kemudian berjalan keluar. Di beranda kamar kostnya, ia menikmati angin pagi yang terasa menusuk kulitnya, meniup perihnya. "Itu peringatan terakhir untukku.... Cukup.... Aku tidak akan menantangMu lagi. Bantu aku memperbaikinya, semuanya…."

Illy memejamkan matanya, merentangkan tangannya, dan mencoba mengembalikan kedamaian dalam jiwanya.

~~~

Al dan Verrel terbangun saat mencium bau masakan yang begitu menggugah selera, membuat cacing-cacing di perut mereka berontak, ramai dengan suara kelaparan. Jadi, sebenarnya suara kruyukan itu suara perut atau cacing di perut? Mereka kompak bangun, dan langsung mengikuti aroma itu berasal.

"Wahh... nasi goreng!" kata Verrel, di depan satu piring nasi goreng yang tampak sangat lezat.

"Ini Illy yang masak?" tanya Al.

Tepat saat Al bertanya, Illy datang dengan satu piring lagi di tangannya. "Pagiii...," sapanya riang. "Kalian pasti lapar? Gue udah masakin, nih. Kalian makan, ya." Ia menghidangkan piring di tangannya untuk Al.

Al mengambil piring itu ragu. "kok cuma dua? Lo gak makan?"

"Gue mau makan roti aja sama susu. Udah, kalian makan aja." Illy masih tersenyum riang.

Aku tahu, senyum itu pasti dipaksakan. Aku masih bisa melihat guratan itu, traumanya.... Jika aku dan Verrel terluka fisik, maka dia, dia harus menanggung luka fisik dan luka batin. Bagaimana aku bisa percaya pada senyum itu? Dia terlalu tangguh hingga tidak membiarkan seorang pun mengasihaninya.

"Lo harusnya istirahat aja, Ly...," kata Verrel cemas.

"Kalau gue diem, gue malah bisa stres keinget kejadian itu terus. Udah, cepetan makan. Jangan cemasin gue lagi, gue udah gak papa!" tegas Illy.

Setelah beberapa detik Al dan Verrel saling pandang, akhirnya mereka mulai menyuapkan nasi goreng ke mulutnya masing-masing. Entah nasi gorengnya yang terlalu enak, atau perut mereka yang terlalu lapar, sampai piring itu sudah bersih tanpa sisa hanya dalam hitungan beberapa menit saja.

"Ngomong-ngomong Al, lo ke mana aja kemarin?” tanya Illy. “Terus, kenapa lo tiba-tiba muncul?"

"Umm... gue…” Al bingung. “Ah ! Ceritanya panjang. Intinya, gue kabur dari rumah, hehe…."

Illy mengernyit. "Kabur kok, kelihatan happy gitu!” katanya, heran. “Tapi…, makasih ya, kalian udah selametin gue. Maaf-"

"Gak usah minta maaf!” potong Verrel. “Dari awal itu janji gue, gue akan selalu jagain lo. Dan semalam itu…, gue rasa… harusnya gue yang minta maaf sama lo. Gue… gagal."

“Gak, lo enggak dan gak pernah gagal jaga gue. Gue beruntung punya lo,” sambar Illy. Ia kemudian tersenyum simpul seraya beralih pada Al. "Dan lo juga, cowok penyendiri yang penuh teka-teki! Kalau gak ada kalian, mungkin sekarang gue ada di rumah sakit, mungkin lanjut ke rumah sakit jiwa, haha! Gue beruntung punya kalian."

A Wallflower Love Story (AWLS)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang