Akhir - Kenyataan Sebenarnya...

2.7K 190 50
                                    

Jalan yang Mereka Pilih
Ruang Penyimpanan, satu jam sebelum kebakaran...

Kinan mendorong si nomor 25. Tubuh gadis malang itu jatuh tersungkur. "Katakan apa maumu!?" hardik Kinan.

Si nomor 25 bangkit, berdiri. "Apa semuanya sudah di sini?"

Anak-anak di sana saling berpandangan. "Sepertinya sudah," jawab Nadse, mewakili teman-temannya.

"Baiklah." Si nomor 25 tersenyum singkat. Tangannya gemetaran mengeluarkan sebuah benda dari sakunya. Benda tadi tergelincir dari tangannya. Terbanting di lantai dan berhenti di antara kedua kaki Adam.

Adam menunduk berniat mengambilnya. Namun si nomor 25 duluan melompat, menyambarnya dan menekan tombol di benda tersebut.

BLARRR!!!

Sebuah ledakan mengagetkan semua anak. Tya yang berada paling dekat dengan lubang keluar, melompat mundur. Menabrak Frieska yang langsung mengomel.

"Do-Door-nya!" teriak Dellon kalap.

"Apa yang kau lakukan!!!" raung Kinan pada si nomor 25. Ditariknya kerah seragam anak itu.

Si nomor 25 tertawa panjang. Sumpah serapah menyembur dari mulutnya. Kinan makin kalap dan mengguncang tubuh gadis tadi. "Per-cu-ma..." kata si nomor 25. "Apa-pun yang kau lakukan, kita tetap akan mati disini."

Kinan melepaskan cekalannya. Si nomor 25 terbatuk-batuk. "Apa arti kata-kata lue barusan!?" paksa Kinan.
Si nomor 25 memandangi wajah setiap anak satu persatu. Lalu dia menjelaskan semuanya. Kemarahannya, rencana balas dendamnya dan kematian yang menanti mereka semua.

Keheningan tidak wajar menyelimuti ruangan itu. Setiap anak tak mau kehilangan barang satu katapun dari mulut si nomor 25. Mulut-mulut mereka menganga tak percaya.

Reaksi pertama mereka adalah kepalan tangan Kinan yang menghantam pipi si nomor 25. Bukan cuma sekali, tapi berkali-kali. Kinan membabi-buta memukuli si nomor 25. Dia meraung sejadi-jadinya.

Penyiksaan itu berakhir berkat Shania dan Gracia yang menahan kedua tangan Kinan. "Hentikan..." mohon Shania.

"Ini tidak menyelesaikan masalah," lirih Gracia. Air mata keduanya membasahi lengan Kinan.

"Mereka benar, Kinan. Dalam keadaan seperti ini kita harus menghadapinya dengan kepala dingin," kata Boby.

"Diam lue, Boby! Jangan mentang-mentang lue ketua kelas maka lue pikir bisa memerintah gue seenaknya! Jabatan lue itu formalitas belaka! Tak pernah ada yang mau lue pimpin!" bantah Kinan.

"Kau pikir aku mati rasa, ya!" teriak Boby tidak kalah keras. "Oke, kalau kalian tidak suka aku yang jadi ketua kelas. Tapi tolong untuk kali ini saja, dengarkan aku!"

Anak-anak terperangah, selama ini 'tolong' adalah kata yang anti diucapkan si angkuh Boby.

"Kau punya ide?" Tanya Frans.

Boby mengiyakan. "Farish, pakai ponselmu. Hubungi siapapun juga, minta mereka segera mengeluarkan kita dari sini."

"Waaa... Ota tidak terpikir ada cara seperti itu," puji Okta.

Farish menelan ludahnya. "Maaf, seluruh ponselku kutinggal di tas, di kelas."

"Kalau begitu, siapapun di antara kalian yang membawa ponsel bisa melakukannya," lempar Boby kepada yang lain.

Tak ada gerakan.

"Kenapa tidak pakai punyamu sendiri?" celetuk Nadse.

"Tidak bisa, ponselku dipinjam Mario. Katanya ponsel dia ketinggalan dan dia mau menelepon orang tuanya, penting."

Dark DiaryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang