[Part 10] Hope

9.2K 916 3
                                    

Keesokan paginya Demos membawa mereka berdua berjalan mengelilingi istana, tentu saja putrinya yang cantik mengikuti mereka, Syahra tak suka melihat cara Fleur memandang Aryan diam-diam. Saat mereka berbincang di perpustakaan, lagi-lagi memakai bahasa Najareth, Syahra merasa kesal, didekatinya Aryan dan berbisik. "Tuan Putri itu bisa bahasa kita atau tidak?. Aku ingin mengobrol dengannya, sebaiknya kita bicara dengan bahasa Illeanos saja, kalau paduka bisa berbagai bahasa, masa tuan putri Fleur tidak diajari berbagai bahasa, dia kan pewaris istana ini...". Aryan berkata sesuatu pada Fleur, terbata gadis itu berkata. "Hamba hanya...sedikit bisa berbahasa Illeanos, paduka...", nadanya terdengar sedikit aneh di telinga. "Tapi anda bisa bukan, istriku ingin berkenalan dengan anda, karena usianya sebaya dengan anda, kuharap anda bisa menjadi teman baiknya...", kata Aryan. Fleur memandang Syahra sebentar dan mengangguk hormat pada Aryan. "Baik paduka...".

Fleur mengajak mereka ke istal dan lapangan berkuda istana matahari. Mereka memandangi kuda yang berlarian dengan lincahnya di tanah lapang yang luas. Syahra memandang kuda putih yang indah, seperti Syibil, tapi warnanya lebih putih. Tampaknya itu kuda jantan. "Itu bagus...aku ingin mencobanya...", katanya pada Fleur. "Itu kuda liar yang sedang dijinakkan...kami baru menangkapnya seminggu yang lalu, sebenarnya aku juga tertarik pada warnanya, kalau anda ingin mencoba berkuda, sebaiknya pilih saja salah satu kuda di istal". Tapi entah mengapa, Syahra merasa tak asing dengan kuda putih itu. Dia melangkah mendekati tanah lapang,memandangi kuda putih bersurai panjang itu. Kuda yang indah seperti di dongeng yang diceritakan ibunya. Tak disangka, kuda itu mendekat. "Kemarilah...", Syahra mengulurkan tangannya. "Ayo...", Syahra dengan lembut mengelus surainya, kuda itu malah menggosokkan pipinya di telapak tangan Syahra. "Kau cantik sekali...", puji Syahra. "Dia kuda jantan...sama sekali tidak cantik...", Aryan mendekat, kuda itu tampaknya tak suka akan kedatangan Aryan, perlahan dia menjauh dan bergabung dengan kelompoknya.

"Anda membuatnya takut...", kata Syahra. "Kuda itu masih liar, kalau dia tiba-tiba menendang, bagaimana?. Kau ini memang...". "Bodoh...", Syahra tersenyum, tampak giginya yang berderet cemerlang. "Ayo...Fleur menunggu kita...", digandengnya tangan Syahra.

Fleur memandang kesal keakraban Syahra dan Aryan. Seharusnya pria itu menjadi suaminya. Kenapa ayahnya membatalkan perjodohan mereka?. Aryanrod...begitu banyak cerita kudengar tentangmu, semula memang aku mengira kau pria yang menakutkan, kejam. Tapi setelah melihatmu, aku menyesal tak mengenalmu lebih cepat. Kau begitu gagah dan tampan, ksatria yang tangguh dan pemberani. Tak pernah kulihat pria yang memiliki pandangan mata setajam itu, mengiris hatiku. Para pangeran yang kukenal selalu tertunduk di hadapanku, kau memiliki gunung keangkuhan yang menantang untuk ditaklukan. Kalau gadis kecil itu bisa melunakkan hatimu yang bagai baja, kenapa aku tidak? Akan kurebut kau darinya...karena kau seharusnya memang menjadi milikku. Kita dijodohkan bahkan sebelum kita lahir. Seharusnya kau adalah takdirku.

---

"Apakah di sini ada tempat yang indah?", tanya Aryan. "Maksud paduka?". "Kami, ingin melihat-lihat daerah sekitar wilayah Najareth, aku boleh meminjam seekor kuda, putri Fleur?". "Tentu, silahkan, saya akan menemani anda...". "Tidak perlu, cukup aku dan istriku saja". "Tapi...". "Kami hanya akan berjalan-jalan sebentar".

---

Memakai pakaian tradisional rakyat Najareth, Aryan mengajak Syahra berkuda menuju sebuah desa di dekat istana. "Kau jangan panggil aku 'paduka, tapi, panggil 'kau' atau 'Aryan' saja, karena kita di sini sedang menyamar menjadi rakyat biasa, mengerti?". "Baik, paduka". "Aryan...". "Baik, Ar..yan..", Syahra meringis. "Jangan jauh-jauh dariku, memakai pakaian rakyat saja kau masih terlihat mencolok seperti itu...jangan lepaskan tanganmu dariku". Aryan mengikat kuda mereka ke sebuah tiang di tempat penitipan kuda, mereka bergandengan menuju pasar tradisional Najareth. Begitu banyak benda-benda indah, ada pakaian, selendang yang indah, perhiasan...Syahra berdecak kagum, sudah lama dia tidak menikmati kehidupan menjadi rakyat jelata. "Lihat itu Pa...eh, Aryan...lihat...pedang itu bagus ya...". "Bodoh, kau ini khan wanita, pilihlah benda yang sesuai, selendang itu misalnya...", Aryan menggandeng Syahra menuju sebuah toko kecil yang menjual berbagai macam selendang. "Ini bagus?", Syahra mencoba sebuah selendang berwarna biru". "Kau selalu terlihat cantik, tapi kurasa warna yang putih lebih cocok", Aryan memakaikan selendang itu melingkupi rambut sang putri. "Warna hitam rambutmu menjadi lebih terlihat...", mereka saling menatap...Syahra merasa wajahnya panas, wajah Aryan begitu dekat, begitu tampan. "Ah, baiklah, yang putih juga...boleh". Aryan membayar selendang itu lalu membawa Syahra keluar dari toko.

Mereka menyusuri sungai kecil di kaki bukit. Aryan hanya memperhatikan saat Syahra bermain-main dengan air sungai, tiba-tiba dia merasa bersyukur. Bertemu Syahra dalam hidupnya, membuat pandangannya selama ini berubah, dia bisa merasakan hal-hal yang selama ini tak pernah dia rasakan, rasa cemas, khawatir, gelisah, juga rasa bahagia. Selama ini dia hidup untuk dirinya sendiri, sekarang dia menyadari, dia bisa hidup untuk seseorang, hidup untuk melindungi Syahra. "Apa yang paduka pikirkan?", Syahra duduk di dekat Aryan. Aryan hanya tersenyum. "Sungai yang indah, bukan...tapi, meskipun negeri ini sangat indah, hamba sudah rindu pada Illeanos, kapan kita akan pulang?". "Kenapa? Kau tidak suka tinggal di sini, menemaniku?". Syahra memandang Aryan. "Bukan, hamba hanya...takut". "Apa yang kau takutkan, bukankah kau bersamaku?". "Justru itu, hamba takut kehilangan...paduka, entah kenapa...perasaan hamba tidak tenang...",Syahra memandang kedalaman mata Aryan. Aryan mengernyit, tak mengerti, tangannya terulur membelai pipi Syahra. "Kalau hamba boleh meminta, hamba ingin berada di sisi paduka selamanya...jangan...jangan pernah tinggalkan hamba...", air mata gadis itu, kejujurannya, ketulusannya..."Aku, tidak akan meninggalkanmu...tidak akan...", Aryan merangkum wajah cantik itu, memandangnya lekat...agar Syahra yakin, ah, mata yang indah, wajah yang cantik, jemari Aryan mengelus bibir merah yang bagai mawar itu, perlahan dikecupnya bibir Syahra. Dibaringkannya tubuh gadis itu di rerumputan, saat Aryan hendak melepas tali gaun Syahra, tiba-tiba dia tersadar, mereka bukan berada di Istana, tapi di sebuah pinggir sungai kecil. "Lihatlah, kau membuatku hampir gila, maafkan aku...", Aryan membimbing Syahra bangkit, wajah Syahra memerah, malu. "Ayo kita pulang", Aryan menaikkan Syahra ke punggung kudanya lalu mereka melesat kembali ke istana, Aryan menikmati harum rambut istrinya yang terbelai angin.

---

"Bagaimana perjalanannya? Apakah menyenangkan?", Fleur menyambut mereka berdua di gerbang. Aryan memandang Syahra. "Sangat menyenangkan", tiba-tiba digendongnya tubuh Syahra. "Kuakui, kota ini sangat menarik, juga indah, bukankah begitu Syahra?", Syahra hanya memandang Aryan, heran, kenapa tiba-tiba suaminya menjadi begitu romantis?. Fleur hanya memandang iri saat Aryan masuk ke istana.


1001 Nights Broken WingsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang