[Part 4] War in my heart

12.5K 993 14
                                    

Saat membuka matanya, Syahra merasa hangat, ternyata dia sudah berada di kamar, tidak lagi memakai baju perang, tapi gaun tidur yang hangat. Kakinya terasa nyeri, disibaknya selimut, kakinya yang terluka sudah terbalut rapi. Dia berusaha bangkit, kepalanya terasa pening, tapi dia ingin mencari Aryan. "Aduduh...",kakinya masih sakit, dia terjatuh, tak bisa berdiri, dan hanya terduduk di samping ranjang, tangannya mencoba meraih ke atas, tapi sia-sia, kakinya terasa sakit. Dengan kesal dia menyeret kakinya dan duduk di lantai.

Aryan terkejut saat melihat Syahra tak ada di tempat tidur. "Ke mana gadis bodoh itu?', pikirnya kesal. Saat dilihatnya Syahra terduduk di lantai samping ranjang, Aryan menghela nafas lega. "Sedang apa kau di situ?". Syahra terkejut, tak didengarnya Aryan masuk. "eh, paduka...hamba hanya mencoba berdiri...tapi...". "Tulang kakimu retak, tabib menyarankan seminggu ini kau tetap istirahat...",Syahra memandang Aryan tak mengerti. "Yah...sebenarnya besok kau harus dipenggal, tapi melihat keadaanmu, sepertinya kurang menarik memenggal seseorang yang tak bisa berjalan, aku ingin dengan kakimu sendiri kau berjalan ke tiang hukuman...kuberi waktu seminggu...nikmati hari-harimu...", lalu pria itu meraih tubuh Syahra dan membaringkannya di ranjang. "Hanya seminggu...", lalu pria itu beranjak keluar. Syahra meraih tangan Aryan. "Tunggu...". Aryan menoleh dan memandangnya. "Terimakasih...anda telah menyelamatkan nyawa saya, padahal anda bisa meninggalkan saya di sana...". Aryan melepaskan tangan Syahra. "Sudah kubilang, aku takkan membiarkanmu mati di sana, karena aku sendirilah yang akan membunuhmu...".

Syahra memandang kepergian Aryan tak mengerti, di satu sisi Aryan begitu baik dan lembut, di sisi lain masih saja terlihat angkuh, tak perduli dan kasar. Tapi Syahra percaya, sebenarnya Aryan adalah pria yang baik, sorot matanya tadi sekilas terlihat cemas, atau...hanya perasaannya saja?. Tapi dia merasa senang. Masih ada beberapa waktu dia masih bisa bersama Aryan. "Tuhan, aku jatuh cinta, pada seseorang yang tak mungkin mencintaiku, dia bahkan ingin membunuhku, sungguh, aku sendiri tak bisa mengerti, bagaimana Kau bisa menuliskan kisahku seaneh ini...".

---

"Bagaimana keadaan tuan putri?",Asva menjajari langkah Aryan. "Kakinya retak...si bodoh itu...aku jadi memberinya waktu dan menunda hukumannya...", Asva tersenyum. "Kenapa kau tersenyum seperti itu?". "Oh, tidak, hamba hanya merasa aneh...bukankah anda ingin sekali memenggalnya, tapi paduka malah menolongnya...seharusnya tadi kita biarkan saja dia mati di sana...". Aryan menghentikan langkahnya. "Bukankah kau sendiri yang bilang, dia lebih baik mati dalam perang daripada dipenggal?". "Eh?". "Aku akan mengajaknya dalam perang melawan Midgar...". "Ah...anda bercanda?". "Tidak, aku serius...sekarang kita ke ruang strategi, ada beberapa hal yang harus dibenahi".

Ribuan prajurit dikerahkan untuk membangun benteng pertahanan di selatan, karena kemungkinan besar Midgar akan menyerang dari sisi itu, tapi Aryan punya rencana lain, dia akan lebih dulu menaklukan Midgar di Tresta, benteng terluarnya. Tresta sudah dibangun sejak nenek moyangnya, benteng tua itu meski tak setangguh benteng selatan yang baru dibangun, akan menjadi titik awal pertahanan, dia masih yakin akan kekuatan Tresta dan jebakan yang dirancang para leluhurnya ratusan tahun lalu. Pasukan bayangan dan prajurit terlatih telah disiapkannya, tentu saja dengan berbagai strategi perang yang matang, dia tak ingin ada nyawa yang melayang sia-sia karena strategi yang salah. Tapi tak hanya itu, pekerjaannya bertambah, yaitu mengajari Syahra mengayunkan pedang. "Wanita sepertimu tak cocok mati di tiang gantungan ataupun kapak algojo, kuberi kau kesempatan maju bersamaku menghancurkan Midgar!",kata Aryan. Syahra tidak begitu mengerti, dia hanya berpikir, dia tidak jadi dipenggal dan merasa senang bisa menemani Aryan bertempur daripada menunggunya di Istana...apalagi mengingat kisah Ratu Bilqish. Seharusnya waktu itu sang Ratu ikut ke medan perang, jadi dia tidak memiliki kesempatan dekat dengan orang lain.Teknik memanah Syahra sudah mulai bagus, dia mulai pandai memanah tepat sasaran meskipun berada di atas kuda. "Tampaknya dia memang cerdas...", kata Asva takjub. Aryan hanya memandang saja, dalam hatinya tiba-tiba terbersit rasa khawatir. Gadis itu terlalu berani, terlalu percaya diri dan bersemangat, dia tak tahu apa yang akan dihadapinya dalam peperangan.

1001 Nights Broken WingsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang