NOTES

13.1K 346 15
                                    

Saya pengen banget punya novel Trinity Blood tapi belum bisa mendapatkannya even yg bahasa Inggris....ada yang tahu bagaimana cara mendapatkannya? Cerita tentang Terran dan Methusellah.........yang bisa bantu inbox ya,,,.....

saya pengen bikin yg rumit2 gitu tapi versi novel, ahahaaa...


BLOOD

"Jadi?," Rayan memandangku dengan kelembutan beledru bak Yukimura Sanada. "Apa kau tahan dengan pemandangan ini, sayang?."

Dia menoleh ke sesosok tubuh yang tengah berbaring di ranjang dekat kami berdiri. "Tubuhnya...."

Aku menoleh tak acuh pada sosok tubuh berkulit kecoklatan yang tenang tertidur itu, kulitnya coklat, terlalu coklat bagi kebanyakan kami. Terran di tengah Methusellah.

"Six pack, mulus jika kau abaikan luka di pinggangnya itu, dan wajah tampan jika kau tidak perfectsionis akan goresan dekat dahi kanannya, kurasa cowok ini agak berbahaya juga, tapi dia punya tangan yang bagus."

Wajah manis Rayan mengamati jemari salah satu tangan cowok itu yang keluar dari selimut. "Tangannya kapalan di bagian tertentu, dia ahli memegang benda tajam, pisau? Hmm, scalpel....atau belati, kau mau mencoba bertaruh denganku, Axel?."

"Well, dalam pikiranku aku hanya ingin membunuhnya, dia tak berguna," gumamku sambil memandang ke arah jendela, bulan sempurna muncul dari balik awan, keadaan seperti ini selalu membuat hatiku tak tenang.

"Kenapa kita harus menolong Terran ini?," aku memandang wajah yang sedang tertidur akibat anastesi spinal itu dengan acuh, ada wajah bangsaku di sini, tapi aku juga melihat kekuatan bangsa Inca dalam wajahnya, darahnya. Darah yang bereaksi cepat dengan matahari. Di dadanya yang telanjang tergeletak mata kalung lambang Solomon, bintang enam yang biasa dipakai orang Yahudi, tapi bintang itu di atasnya tercetak huruf arab yang kutahu berarti "Matahari."

------------------

"Jangan munafik, jika dia mati, mungkin jiwamu hidup Ax, tapi ragamu mati."

"Tsssk, Sir Rayan, bukankah aku sudah 'mati'?," aku memandangnya.

Aku tersenyum, Rayan yang tampan pun tersenyum.

"Kurasa, justru kau tahu segalanya tentang hatiku ya? Padahal orang yang seharusnya tahu, justru tidak akan pernah, atau tidak mau mengetahuinya." Aku meraba MI-16, masih di pinggangku.

"Aku akan berjaga di luar....," aku melompati jendela dan merasakan udara malam menerpa wajahku, Ya Tuhan, aku menyukai kegelapan ini, aku membenci bulan di atas sana.....Bulanlah yang membuat kami begitu berbeda. Dia begitu cantik dan kejam, dialah yang membuatku tak sanggup lagi menatap Matahari dan menyembunyikan diriku dari kehangatannya, aku tak bisa lagi menikmati kehangatan matahari, kehangatan kehidupan.

Ya, aku membenci Nathaniel karena kehidupannya, darahnya yang hangat, tawanya yang cerah, dan tatapan matanya yang bening, kehidupannya yang indah seolah menyindirku, dia bagaikan dewa Matahari dan aku seperti cacing tanah pucat yang tak berarti.

Aku memandang Bulan di atas sana, dia tersenyum seolah mengejekku.

Aku tidak tahan bau darah Nathaniel, itulah kelemahanku, titik pengendalian diriku yang kacau, aku takkan pernah sekuat Rayan. Meski dalam hatiku yang beku ada nama Nathaniel, ada bagian Nathaniel yang mengendalikanku, tapi aku menyadari, aku dan 'makhluk itu' sangat berbeda.

"Apa itu cinta? Jika perasaan dalam hatiku ini bukan cinta, maka tak ada yang namanya cinta di dunia ini," aku tersenyum mengingat sepenggal lagu yang pernah dinyanyikan suara bening Rayan.

Yang kurasakan lebih menyakitkan dari kematian tapi di suatu saat lebih indah dari kehidupan itu sendiri. Di atap gedung, kusatukan nafasku dengan nafas malam, berharap, malam ini aku bisa tidur, tanpa mimpi, tanpa Nathaniel.

---

1001 Nights Broken WingsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang