"Darimana kamu?"
Suara tenang namun terdengar mengerikan itu menghentikan langkah Moli. Gadis itu mematung sesaat sebelum menghampiri Sang Kakak.
"Tadi ada pelajaran tambahan, jadinya aku pulang terlambat. Maaf, Kak." tutur Moli, mengontrol suaranya sendiri agar terdengar normal.
"Kenapa nggak kasih kabar?" tatapan itu semakin tajam.
"Ponselku mati,"
Reza menghembuskan napasnya kasar. Tidak mau ambil pusing, Reza melanjutkan langkahnya menapaki satu per satu anak tangga.
"Mandi sana," Reza bersuara. "Dan batalin rencana kamu sama Vanya. Kamu nggak boleh kemana-mana malam ini."
Moli lantas mendongak, nyaris menjerit karena Reza dengan seenaknya menyuruh Moli untuk membatalkan rencana hangout nya bersama Vanya untuk menghabiskan malam minggu durja mereka, malam ini. Tapi sayangnya, Moli tidak mungkin berteriak, terlebih teriakan semacam protesannya terhadap keputusan Reza.
"Kak..."
"Tetep disini atau kamu bakal tau sendiri akhirnya gimana." Reza menghilang bersamaan dengan suara pintu yang tertutup.
Tubuh Moli merosot, perasaan kesal, marah, kecewanya tercampur menjadi satu. Membuatnya kewalahan menyikapi rasa sakit di hatinya. Ia kesal, karena Reza menyuruhnya untuk membatalkan acaranya dengan Vanya. Ia marah, karena ia tidak bisa berbuat apa-apa, bahkan sekedar untuk mencari pembelaan diri. Dan ia kecewa, karena Reza masih bersikap seperti itu padanya. Ia kecewa, keadaan rumah ini masih terus saja mati. Tidak ada tanda-tanda kehidupan disini. Yang ada hanya percakapan kaku antara dirinya dan Reza.
Dan ia pun kecewa, karena Reza masih menaruh benci padanya.
***
Malam itu, masih sama seperti malam-malam biasa lainnya. Moli akan menghabiskan waktu malamnya dengan berkutat di depan laptop, merangkai kata demi kata, menciptakan dialog yang mampu mengundang emosi pembaca dan menciptakan adegan romantis yang ia damba-dambakan. Iya, gadis itu sedang meneruskan novelnya. Novel pertamanya yang akan ia kirimkan ke penerbit.
Dan semoga saja ia tidak mendapat surat penolakan atas naskahnya, nanti.
"Kak Reza," mulutnya terbuka ketika mendengar suara pintu utama terbuka, namun detik itu juga keningnya berkerut. "Kak Reza gak mungkin pulang jam segini."
Moli menutup laptopnya, mengendap-ngendap menuju pintu kamarnya. Menempelkan telinganya ke daun pintu, berusaha menyerap suara-suara dari luar.
Yang sayangnya, hanya suara hening yang dapat ditangkap pendengarannya.
Moli mulai gelisah, mondar-mandir di belakang pintu, berusaha mencari cara untuk menyelamatkan diri. Moli yakin, tadi ia mendengar pintu utamanya terbuka.
Maka dari itu, ditengah kebimbangannya, Moli mengambil ponsel, mengetik nomor Reza yang sudah ia hafal sebelum akhirnya sebuah kalimat terlintas dibenaknya.
Jangan pernah telepon saya. Kalau ada perlu, telepon bibi saja atau telepon temanmu. Saya sudah bilang, saya sibuk. Dan saya gak mau keganggu karena telepon dari kamu.
Dengan gamang Moli mengurungkan niatnya, tidak mau menambah angka kebencian Reza terhadap dirinya. Dan disaat yang bersamaan, Moli merasa pandangannya gelap dan memang benar, ada seseorang yang memasuki rumahnya.
***
"Jadi lo beneran ikutin apa kata Leon?!" Agi menatap tidak percaya, saat Edgar membawa Moli masuk ke dalam rumahnya.
"Ya mau gimana lagi, Leon yang minta. Gadis ini taruhannya, berarti dia harus ada dibawah kuasa gue." Edgar mengusap wajahnya kasar, terlihat frustasi karena sudah bertindak layaknya penjahat kelamin.
KAMU SEDANG MEMBACA
Les Misèrables
Подростковая литератураAda begitu banyak orang, yang kita temui dalam hidup. Bermacam-macam; yang datang, yang pergi, yang sekadar singgah, yang masih menetap, yang dijatuhi cinta, yang menjatuhi cinta, yang datang lalu pergi lagi, yang pergi lalu ingin kembali lagi, yan...