Gelap mulai menyapa, matahari sudah kembali ke peredaraan dan sekarang bintanglah yang bertugas untuk menyinari bumi. Malam ini masih sama bagi Moli, menatap ke sisian ranjangnya yang kosong lalu meremas seprainya dengan kuat. Ranjang itu selalu kosong dan mungkin tetap kosong hingga seterusnya.
"Kamu tau pacar ke enam belas Kakak kemarin? Dia putusin Kakak Cuma karena dia cemburu sama kamu. Dia bilang, Kakak terlalu sayang sama kamu dibanding dia."
"Seriusan? Buat apa coba cemburu sama calon-adik-iparnya sendiri?"
Reza terkekeh, membawa Moli semakin rapat ke dalam pelukannya, sementara Moli memposisikan kepalanya senyaman mungkin di tangan Reza.
"Kakak gak mungkin nikahin dia."
"Kenapa? Dia Cuma jadi mainan Kakak doang?"
Reza menggeleng, meletakkan kepalanya diatas kepala Moli, "Kakak gak bisa nikahin perempuan yang gak bisa nerima kamu, apalahi cemburu sama kamu."
Dalam diam Moli tersenyum.
"Dari enam belas mantan Kakak, rata-rata mereka putusin Kakak dengan alasan yang sama; cemburu sama kamu. Kalau itu problemnya, jangan harap lebih, deh."
Moli menutup matanya, sakit. Kedua mata itu memanas seraya bergulirnya kenangan hangat dulu. Hanya kenangan, kenangan abstrak yang jika diulang mungkin tidak akan sama sensasinya, entah itu lebih baik atau buruk.
Moli merindukan Reza yang dulu.
Merindukan sosok bertubuh tegap itu, merindukan pundak tempat dimana ia mencurahkan segala keluh kesahnya setiap hari dan merindukan pelukan paling nyaman dari Reza.
"Kak Reza, pulang..." Moli meringis seperti malam-malam sebelumnya, setetes air matanya meluruh menapak kain seprai berwarna biru. Reza memang jarang di rumah, ia lebih banyak menghabiskan waktu diluar. Yang Moli sendiri pun, tidak tahu kegiatan apa yang Reza lakukan diluar sana.
***
"Abel, kamu kenapa nangis?"
Moli langsung menarik Abel ke dalam pelukannya, gadis kecil itu mengkerut di dalam pelukan Moli disertai dengan isakan tangisnya.
Moli memang memutuskan untuk pergi ke panti asuhan ini, sekedar untuk menghabiskan malamnya bersama Abel alih-alih meratapi kenangan manisnya bersama Reza. Abel, gadis kecil yang ia anggap seperti malaikat yang Tuhan kirimkan khusus untuknya.
"Kak Moli, tolongin Abel," dia berkata getir, beberapa kali mengusap air matanya.
Kamu gak boleh manja.
Kata-kata Rethan yang mulai dijadikan prinsip oleh Abel dihidupnya.
"Tolongin apa? Apa yang sakit, Bel? Kepala? Tangan? Atau gigi kamu?" Moli memeriksa satu persatu anggota tubuh Abel dengan cepat.
Abel menggeleng, "Bukan. Kak Moli bisa datang ke rumah ini? Tolong pastiin dia baik-baik aja, Kak. Abel takut, Abel gak mau dia roboh lagi, Kak. Tolong Abel..."
Moli mengambil secarik kertas dari tangan Abel, berisikan alamat. Moli rasa, dia tahu alamat ini.
"Kakak bakal bantu Abel."
***
Dengan perasaan yang berdebar-debar bahagia, Rethan membuka pintu utama rumah Tabitha. Rethan tidak bisa lebih bahagia dari ini. Jamuan makan malam seperti ini, sudah lebih dari cukup untuk Rethan. Makan malam berdua dengan Sang Mama.
Senyum tipis Rethan tersemat di wajahnya yang sedikit rileks daripada biasanya, langkahnya terasa ringan dan binaran matanya--Rethan tertegun. Senyum itu luntur. Kakinya terpaku di tempat. Dan binaran mata itu lenyap seketika dari netra gelapnya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Les Misèrables
Teen FictionAda begitu banyak orang, yang kita temui dalam hidup. Bermacam-macam; yang datang, yang pergi, yang sekadar singgah, yang masih menetap, yang dijatuhi cinta, yang menjatuhi cinta, yang datang lalu pergi lagi, yang pergi lalu ingin kembali lagi, yan...