Les Misèrables [12]

331 37 9
                                    

Sebelum matahari bertahta di langit biru sana, gadis dengan seragam sekolah lengkap dengan rambut yang dikucir satu itu telah menyiapkan diri. Beberapa kali ia memeriksa diri didepan cermin, memastikan kalau wajahnya cukup mengenakkan bila dipandang.

Sebelumnya Moli tidak pernah seribet ini hanya untuk bertemu seseorang, terlebih seseorang seperti Rethan. Lelaki seperti itu mana mungkin memperhatikannya hingga sedetail itu. Tapi sialnya, alam bawah sadarnya telah mengambil alih, mengalahkan perintah otak yang memerintahkan untuk berhenti menatap cermin.

"Mau kemana?"

Tahu-tahu ada satu suara dari balik bahunya, sontak Moli berbalik dengan cepat dan melemparkan senyum gugupnya.

"Ke... sekolah?" Moli merutukki dirinya, kenapa nada bicaranya seperti maling yang baru saja ketahuan belangnya?

Bisa-bisa Reza curiga.

Reza mengerutkan kening, dilehernya tersampir handuk berwarna cokelat tua miliknya. "Ini belum ada jam enam, dan kamu udah siap?"

Takut-takut Moli mengangguk, "Hari ini ada piket, jadi aku harus datang seperti biasa."

Alasan yang cukup bagus bukan? Ya meski kenyataannya, gadis itu juga tidak akan mau datang sepagi ini ke sekolah hanya untuk melaksanakan piket.

"Kakak kemaren pulang jam berapa? Kok aku nggak tau?" tanya Moli sedikit serak, mengalihkan pembicaraan.

"Jam dua." sahutnya. "Dan tolong, sudah berapa kali saya ingatkan, pintu depan jangan lupa dikunci sebelum tidur."

Moli tanpa sadar menepuk pelipisnya, memang kemarin malam karena terlalu senang mendapat pesan singkat dari Rethan, Moli jadi lupa mengunci pintu depan. Untung saja tidak terjadi apa-apa.

"Iya, lain kali aku gak kayak gitu lagi." balasku.

"Teman kamu mana?"

"Vanya?" Reza mengangguk canggung. "Dia udah pulang subuh-subuh tadi, Kak."

Reza hanya bergeming setelah itu. Bagai virus, Moli juga ikut bergeming. Lagi-lagi Moli membenci situasi seperti ini, kentara sekali sekat diantara mereka jika dikukung keheningan seperti ini.

"Aku," Moli berdeham sejenak. "Aku pergi dulu, ya, Kak. Sarapan buat Kakak ada di meja makan."

Bersamaan dengan selesainya ucapan Moli, pun ia meraih ganggang pintu dan menariknya keluar. Moli hampir bernapas lega karena ia selangkah lagi berhasil keluar rumah tanpa rasa curiga dari Reza.

Tapi sepertinya dugaan Moli salah. Sebab, Reza kembali bersuara.

"Tunggu," Reza sengaja menjedakan ucapannya, membuat jantung Moli semakin gila saja. "Bukannya kamu piket hari Rabu, ya? Ini 'kan hari Senin."

Sedikit-banyak Moli merutukki kebodohannya memilih alasan piket untuk menjawab pertanyaan Reza. Dan sekarang ia harus berdalih apa lagi? Reza benar-benar memojokkannya.

"Hm, sebenarnya aku mau bantuin Vanya piket soalnya dia piket hari ini." tangan Moli sudah basah oleh keringat dingin, namun sebisanya ia bersikap tenang. "Jadi, aku pergi dulu ya. Kasian Vanya udah nunggu."

Moli benar-benar menghela napas leganya ketika menutup pintu utama. Setidaknya ia sudah keluar dari rumah dan sepertinya rencananya berhasil.

Tapi omong-omong, darimana Reza tahu Moli piket di hari Rabu? Apa laki-laki itu memperhatikan Moli tanpa Moli sadari?

Entahlah. Yang penting Moli tidak bisa untuk tidak menyematkan senyumnya di pagi hari ini.

***

Les MisèrablesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang