Setelah berhasil kabur dari jeratan Moli, Rethan memutuskan untuk menemui Tabitha, sang Mama. Mengingat ia telah lama tidak mengunjungi rumah megah berpilar mewah ini. Sekitar sebulan lebih, mungkin? Entahlah, Rethan tidak begitu mengingatnya.
Rethan memasuki rumahnya dengan gamang. Menapaki lantai demi lantai seperti mayat hidup. Kantung matanya yang berlipat-lipat semakin mendukungnya untuk dijuluki sebagai mayat hidup sekarang.
"Mama udah makan?" Rethan kembali ke dunia nyata saat melihat Mamanya sedang duduk di ruang televisi.
Sejenak Rethan larut dalam tatapannya, melihat punggung Sang Mama dari sini. Kerinduan itu semakin menggebu-gebu minta dilepaskan. Sayangnya, kerinduan itu tidak akan bisa disalurkan sebagaimana mestinya.
Tabitha menoleh sebentar sebelum akhirnya larut dalam dunianya sendiri.
"Rethan ambilin makan dulu. Lauknya opor ayam sama sayur tumis, 'kan?" Rethan bersiap-siap untuk mengambil sepiring nasi kalau saja perkataan Tabitha tidak menohoknya.
"Mama udah gak suka opor ayam, karena Panji gak suka opor ayam. Sama kayak sayur tumis, Mama juga udah gak suka lagi," tanpa memikirkan perasaan Rethan, Tabitha terus melanjutkan ucapannya. "Coba saja ada Panji disini. Panji pasti temani Mama di rumah, Panji pasti tau Mama mau makan apa."
Hati Rethan terbakar, ia menjatuhkan piringnya begitu saja. Panji lagi. Rethan mulai tersulut emosi, atau mungkin tersulut cemburu karena Tabitha terus-menerus membanggakan Panji di hadapannya, karena yang keluar dari mulut Tabitha, hanya selalu tentang Panji, tidak pernah selalu tentang Rethan.
"Ya Tuhan, Ma," Rethan mendesis. "Panji gak mungkin ada disini, dia udah ninggalin Mama. Disini ada Rethan, Mama bisa minta bantuan sama Rethan. Ka--"
"Panji nggak ninggalin Mama. Dia lagi ngelanjutin sekolah di Eropa sana. Dia lagi nimba ilmu, dia lagi berusaha buat Mama bangga dengan prestasinya." jelas Tabitha, membantah asumsi Rethan. "Bukan kayak kamu, yang bikin Mama malu karena keluar-masuk penjara. Dan sudah jelas juga, kamu gak akan bisa gantiin posisi Panji."
Rethan mengepalkan kedua tangannya erat, melihat bagaimana Tabitha menatap Panji sebegitu dalamnya, merasakan bagaimana kuatnya cinta Tabitha untuk Panji. Rethan terpaku, terbesit luka lama yang kembali muncul ke permukaan, luka yang telah lama ia kubur.
Seharusnya, Rethan tidak pulang ke rumah ini, seharusnya Rethan tidak mengajak Tabitha berbicara dan seharusnya Rethan tidak menawarkan dirinya sebagai pengganti Panji.
Seharusnya, seharusnya, seharusnya.
Napas Rethan tercekat. Keseharusan yang sudah terlambat. Percuma ia memunculkan segala bentuk seharusnya yang jelas-jelas sudah lebih dulu terjadi.
"Siapa yang bebasin kamu dari penjara kali ini?"
Rethan mengatur ritme napasnya yang terlalu memburu, terlalu cepat dan terlalu menggebu. Kalimat demi kalimat dari Tabitha terus terputar di dalam otaknya, menghantuinya dan menegaskan padanya kalau Tabitha memang tidak pernah menginginkannya.
"Siapapun yang bebasin aku, yang penting itu bukan Mama. Aku pulang kesini Cuma mau mastiin kalau Mama baik-baik aja. Kalau Mama masih bernapas nungguin Papa beserta Anak kesayangan Mama pulang,"
Rethan menarik napas dalam-dalam. Bahkan sekadar untuk menghirup napas pun ia merasa sakit yang begitu mencekam.
"Sekalian mau ucapin Selamat Hari Ibu." jeda. "Makasih udah jadi seorang Ibu buat Rethan."
"Jangan harap setelah kamu mengatakan itu kamu dapat pelukan dan ciuman dari Mama. Anak kayak kamu, gak pantas buat dapetin kasih sayang dari saya. Cuma anak berprestasi kayak Panji yang layak dapetin semuanya. Dan satu lagi, ucapan kamu basi! Panji sudah mengatakannya lebih dulu dari kamu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Les Misèrables
Teen FictionAda begitu banyak orang, yang kita temui dalam hidup. Bermacam-macam; yang datang, yang pergi, yang sekadar singgah, yang masih menetap, yang dijatuhi cinta, yang menjatuhi cinta, yang datang lalu pergi lagi, yang pergi lalu ingin kembali lagi, yan...