Les Misèrables [4]

456 55 6
                                    

Rethan mengetuk pintu rumah itu dua kali. Ia tahu hal itu sangat tidak sopan mengingat jam sudah menunjukkan pukul setengah dua belas malam. Jam yang tidak lazim untuk berkunjung ke rumah seseorang.

Tapi, Rethan rindu padanya dan Rethan butuh dirinya...

"Eh, Rethan," Ayu, pemilik rumah itu menyapa Rethan sopan, tidak ada guratan kesal karena kedatangan Rethan yang terlalu malam.

"Malam, Bu," Rethan meraih tangan Ayu dan menyalaminya. "Maaf, Bu, Rethan malam-malam datang kesini. Rethan kangen Abel. Abelnya ada?"

Ayu menyunggingkan senyuman hangatnya, "Gak apa-apa, Rethan. Abel ada di kamarnya, dia lagi tidur. Kamu mau tidur bareng Abel?"

"Abel belum tidur!" seorang gadis cilik menyembul dibalik tubuh Ayu, setelah itu ia menguap lebar, jelas sekali baru bangun tidur. "Maksudnya, Abel memang udah tidur tadi. Tapi Abel denger suara motor Kak Rethan, jadinya Abel bangun."

Rethan berjongkok menyetarakan tingginya dengan Abel, lalu tangannya terangkat mengacak-acak rambut Abel.

"Maaf buat tidur Abel terganggu." kata Rethan pelan.

Abel tidak menjawab, ia hanya termenung menatap kedua mata Rethan. Seolah gadis berusia enam tahun itu sedang terjerat di dalam netra gelap itu.

"Ibu bikinin teh buat kamu ya, Than. Kalian ngobrolnya di dalam aja, diluar banyak angin, kasian Abel sama kamunya." Ayu memecahkan keheningan, namun tampaknya dua manusia itu tidak ada yang menggubrisnya hingga ia memilih untuk masuk ke dalam, memberikan ruangan privacy untuk Rethan dan Abel.

"Kak Rethan kenapa lagi?" suara Abel serak.

"Apa?"

"Abel tau, Kak Rethan gak mungkin malam-malam kesini Cuma karena kangen sama Abel. Ada yang salah, iya 'kan, Kak?" Abel masih menyelidiki setiap gerakan mata Rethan, berusaha menyelaminya sedalam-dalamnya.

"Nggak ada yang salah, Bel. Semuanya baik-baik aja."

Abel menggeleng protes, "Gak mungkin! Semuanya gak baik-baik aja. Kak Rethan gak baik-baik aja," Abel terdiam sejenak melihat perubahan mimik wajah Rethan, seakan mengerti maksud dari perubahan itu, Abel mengalungkan kedua tangannya di leher Rethan. "Tapi tenang aja, Abel gak paksain Kak Rethan buat cerita. Maafin Abel yang sok kayak orang dewasa ya, hehe. Tidur yuk, Kak, Abel masih ngantuk."

Rethan menghembuskan napas lega, senyum tipis tersirat di wajahnya yang datar. Lalu dengan lembut ia membawa Abel ke dalam gendongannya. Mendekap Abel hingga mereka sampai di dalam kamar.

"Jangan banyak mikir ya, Kak Rethan. Selamat malam." Abel memberi ciuman singkat di pipi Rethan sebelum bergelut di relung pelukan Rethan.

Rethan sedikit-banyak dalam diamnya, sedang menyamakan kesamaan antara Abel dan Moli. Dua gadis itu seolah-olah bisa membaca apa yang sedang Rethan rasakan, dan ajaibnya, mereka sama-sama tidak mengungkit hal itu atau menuntut Rethan untuk menceritakan semuanya.

***

Rethan membuka matanya kembali, mendengar ponselnya berdering hingga beberapa kali. Rethan bersumpah akan mematahkan tangan si penelepon jika Abel terusik tidurnya.

"Rethan,"

Cewek ini...

"Gue baru ingat, ini hari Ibu. Lo udah ngucapin belum, Than?"

Rahang Rethan mengeras, tangannya terkepal dan nyaris membanting ponselnya sendiri kalau saja kalimat selanjutnya yang Moli katakan tidak membuatnya tergugu.

"Gue udah ngucapin, tapi ya itu, gue ga dapet balasan kayak ciuman atau pelukan dari beliau. Yang gue dapet, Cuma suara hembusan angin."

Rethan mengerutkan keningnya samar. Samakah nasibnya dengan Moli? Dibuang?
"Iya, Nyokap udah nggak ada, Than." Moli menjelaskan tanpa diminta, seolah Rethan merespon semua ucapannya.

Rethan tidak bisa membedakan yang mana lebih mengerikan, antara Ibu yang telah tiada atau Ibu yang tidak pernah mengharapakannya?

"Lo gimana? Udah ngucapin?"

Jeda.

Hening berkepanjangan terbentang diantara mereka. Yang Moli dengar hanya hembusan napas Rethan, yang menandakan laki-laki itu masih berada di seberang sana.

"Than, ngomong dong..."

Rethan tetap bungkam. Tidak angkat suara untuk merespon setiap ucapan Moli. Bahkan sekedar untuk bertanya, darimana Moli mendapatkan nomor ini pun, tidak.

"Atau... Lo sama kayak gue? Jangan sedih dong, Than. Percuma sedih-sedihan di hari haru-biru ini. Mending lo ucapin Selamat Hari Ibu ke gue."

"Kenapa?"

Rethan tidak tahu bagaimana rasanya ketika Moli mendengar Rethan berbicara. Meski hanya sepatah, tapi itu sudah cukup membuat ranjangnya ambruk karena loncatan-loncatan gilanya.

"Karena, mungkin gue bakal jadi Ibu dari anak-anak lo ntar." jawab Moli, sedikit menggebu-gebu karena napasnya yang tinggal satu-satu.

Namun keheningan kembali tercipta di seberang sana membuat tubuh Moli merosot secara perlahan.

"K-kenapa, Than? Lelucon gue receh, ya?"

Hening.

Tidak ada jawaban.

"Atau lo udah tidur? Padahal ada sisa waktu dua puluh tiga menit lewat lima belas detik buat lo ngucapin Selamat Hari Ibu ke gue."

Moli tidak menyerah. Selalu berbicara meski dasarnya selalu tidak direspon oleh Rethan.

Moli berdehem beberapa kali, "Lo tau, Than, bagaimana berharapnya gue sama suara lo? Gue pengen denger suara lo lebih lama. Karena apa ya, gue ngerasa suara lo gak asing buat gue. Suara lo, favorite gue."

Moli menahan sesak di dadanya, dadanya mendadak menyempit dengan pasokan udara yang semakin menipis ia hirup.

"Gue juga pengen liat mata lo lagi. Mata lo indah banget. Gue betah berjam-jam Cuma untuk ngeliat mata lo yang bener-bener bikin gue hanyut di dalamnya. Haha, gila ya, Than?"

Moli meremas dadanya, tempat dimana hatinya tinggal. Ada rasa sakit yang tiba-tiba disini, direlung hatinya. Entah rasa sakit apa dan entah untuk siapa, yang jelas rasa sakitnya begitu mencekik.

"Untuk ukuran waktu kita kenal, gue termasuk cewek agresif ya? Atau karena gue agresif lo jadi menghindar dari gue?"

Suara Moli tercekat.

"Than, ngomong..."

Rasa sakit itu semakin besar, rasa sakit yang sama persis saat ia menyelami kedalaman mata cokelat Rethan. Apa jangan-jangan rasa sakit ini terpusat pada Rethan?

"Oke, kalau nggak mau ngomong. Mungkin lo udah tidur," jeda sebentar. "Jangan banyak mikir, Than. Kurang-kurangin kerutan di dahi lo. Malam ya, Than."

Lalu sambungan terputus.

Dan saat itu juga Rethan meremas ponselnya, berusaha menyingkirkan rasa mencekik di dalam dadanya. Berusaha untuk tidak larut dalam kesedihannya, namun ucapan gadis itu, permohonan gadis itu, harapan gadis itu untuknya...

Membuat Rethan meringis dalam diam.

Than, ngomong...

Rethan masih ingat, bagaimana suara itu terdengar begitu memohon.

*



Les MisèrablesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang