Tabiat anak SMA memang kayak begini, surga dunia adalah dimana guru matematika tidak masuk sehingga para penghuni kelas bebas melanglang buana kemanapun mereka mau.
Termasuk Moli, Vanya dan Panji. Moli dan Vanya memang memilih kantin sebagai pertemuan mereka dengan Panji yang kebetulan mampir ke sekolah mereka secara mendadak.
"Dia kenapa?" Panji menyikut siku Vanya yang berada di sampingnya, memberi kode tentang Moli yang sedari tadi hanya termenung.
Vanya mengikuti arah pandang Panji lalu mengendihkan bahu, "Nggak tau, Nji."
"Mo, gue udah jauh-jauh dari rumah kesini tuh mau ngobrol bareng lo, bukan jadi pajangan doang," celetuk Panji, namun tidak direspon oleh Moli. "Moli!"
Beberapa kali Panji memanggil namanya namun Moli tetap tidak menggubris. Masih larut dalam lamunannya. Hingga Panji menarik hidung Moli keatas, lalu memencetnya gemas membuat Moli tersadar sepersekian detiknya.
"Gue nggak tau harus kayak gimana nyadarin dia kalau dia tuh nggak sendirian," gumam Moli, mungkin belum sepenuhnya sadar. Membuat Vanya maupun Panji menaikkan sebelah alisnya.
"Emang usaha lo udah kayak gimana?" tanya Vanya mulai bersimpati, menopang dagu dengan kedua tangannya.
Moli mendongakkan kepalanya sejenak lalu menunduk lagi, "Gue udah bilang beberapa kali, kalau gue peduli sama dia. Tapi dia gak percaya."
"Cuma itu doang? Halah, Mo...," Vanya tertawa mendengus. "Kayak gue dong, Mo, jangankan hujan, badai pun gue lawan demi dapetin cintanya dia."
"Yang ada, sebelum lo dapetin cintanya dia, lo udah mati duluan ditelen badai, curut!" Panji menceletuk gemas akan sikap hiperbola Vanya.
Kini giliran Moli menghela napas jengah, menatap Vanya lurus-lurus, "Kalau dia sayang sama lo, dia gak mungkin biarin lo kehujanan. Apalagi ngelawan badai kayak gitu."
Vanya tertegun. Merasa tertohok tepat di hati.
"Bahasa lo gak bisa diperhalus lagi? Perih coy perih!" sungut Vanya, menyeruput teh es yang ia pesan. "Ya setidaknya, gue udah berjuang. Masalah hasil biar jadi rahasia Tuhan aja. Kalaupun gak sesuai harapan, gue seneng kok pernah memperjuangkan dia."
"Jangan munafik, Nya. Perjuangan lo sia-sia, dan yang lo dapetin apa? Nggak ada. Apa dia tau lo perjuangin dia mati-matian? Nggak," kata Panji lagi-lagi menohok hati Vanya. "Lo yang awalnya berjuang sendirian, pada akhirnya lo juga yang ngerasain sakit sendirian. Itu yang bikin lo seneng?"
Moli ternganga, sedikit menyangkut-pautkan ucapan Panji tentang kisah hidupnya. Ucapan Panji memang tidak ada manis-manisnya, justru nyelekit. Dan ironisnya, ucapan itu memang benar adanya.
"Panji, lo apa sih responnya gitu banget, lagian gue yang perjuangin dia, gue yang sakit, dan lo juga gak kena efek dari gue 'kan?" Vanya mendelik jengkel.
Lelaki jangkung itu memutar bola matanya kesal, berhadapan dengan para wanita memang melelahkan. Mereka terlalu membawa masalah hati, tanpa sedikitpun berpikir dengan logika mereka.
"Makanya, lain kali sayang sama orang tuh yang realitis dikit. Peka juga sama kodenya dia, kalau dia cuek, gak open sama lo, udah resmi artinya lo harus mundur."
Mata gadis itu mulai berair, andai saja posisi mereka bisa ditukar. Ingin sekali rasanya Vanya meninju otak udang Panji dan menceramahinya panjang lebar, seharusnya 'kan Panji sadar...
Seharusnya Panji paham.
"Memang nggak ada efeknya sama gue, tapi gue gak mau liat lo menderita karena cinta lo yang nggak terbalas itu." imbuh Panji.
KAMU SEDANG MEMBACA
Les Misèrables
Teen FictionAda begitu banyak orang, yang kita temui dalam hidup. Bermacam-macam; yang datang, yang pergi, yang sekadar singgah, yang masih menetap, yang dijatuhi cinta, yang menjatuhi cinta, yang datang lalu pergi lagi, yang pergi lalu ingin kembali lagi, yan...