CHAPTER 10

1.8K 169 25
                                    

"Benar-benar menyebalkan, kalau begitu kita kerjain dia sekarang." Luna begitu semangatnya ingin mengerjai Abel habis-habisan.

"Benar Carol, semalam aku mendengar suara mereka berdua." Tambah Mei memanas-manasi Caroline.

Caroline sudah berapi-api dan marah, karena tadi pagi yang dia lihat disampingnya bukanlah Ellen yang semalam tidur disampingnya malahan tumpukan tas yang ada disampingnya. Dan Ellen sudah berpindah tidur memeluk Abel dari belakang.

"Baiklah kalian berdua seret Abel kesini, dia seperti jalang sialan dan sangat memuakkan!" perintah Caroline dan tentu saja kedua dayang itu mematuhinya.

***

Begitu bodohnya Abel, dia lupa untuk membawa kantong darahnya. Padahal kemarin dia sudah menyiapkannya di nakas kamarnya. Dia sangat lapar sekarang, akhirnya dia memutuskan memakan roti. Sebenarnya roti itu tidak bisa dijadikan pengganjal rasa lapar akan darahnya. Di saat dia duduk sendirian di tepi sungai, Abel dibekap sampai pingsan.

Abel disiram dengan air membuatnya tersadar dari pingsannya. Dia melihat ke sekelilingnya, ini di dalam hutan bukannya dia ada di tepi sungai tadi pikirnya. Tapi Abel dengan segera dapat menemukan jawabannya. Mei dan Luna masih memegangi ember yang mereka gunakan untuk menyiram Abel. Caroline berdiri tepat dihadapan Abel, dia menatap Abel dengan pandangan marah. Caroline menarik kerah baju Abel, dia menampar Abel dengan keras membuat kacamata Abel jatuh ke rerumputan.

Setelah menampar Abel, Caroline mendorong Abel membuat tubuh Abel tersentak ke belakang. Dia mencoba meraba-raba kacamatanya, tapi saat Abel mendapatkan kacamatanya Luna dengan sengaja menginjak tangan Abel yang sudah memegang kacamatanya.

"AKH." Erang Abel saat tangannya terinjak oleh Luna. Telapak tangannya tertusuk beberapa pecahan kaca dari kacamata membuat telapak tangannya mengeluarkan darah.

"Eh jelek! Jangan terlalu kecentilan deh. Ellen itu lebih pantas menyukaiku yang cantik ketimbang menyukaimu yang cantik aja tidak malah jelek sekali!" ucap Caroline berapi-api dia menedang perut Abel.

Dalam keadaan Abel yang tengah menahan lapar Abel benar-benar juga harus menahan amarah dan rasa sakit yang dirasakan akibat siksaan dari geng Da Fleur. Dia harus mengontrol dirinya agar dia tidak mengamuk dan menghajar ketiga orang yang ada di depannya.

Luna menarik kepala Abel, dan membenturkannya ke tanah menyebabkan kepala Abel berdarah, Abel merasa kepalanya agak sakit. "Sepertinya masih kurang Carol." Mei memainkan gunting di tangannya di depan Abel.

"Kau itu jelek, buruk rupa, tubuhmu juga tidak ada yang menarik sama sekali!" bentak Caroline.

Mei menggunting baju Abel menjadi dua, menunjukkan bra Abel. Mei mengunting-gunting baju Abel hingga tidak berbentuk lagi. Abel hanya bisa diam menerima perlakuan mereka. Mei hendak menggunting bra Abel, tapi Abel menahan tangannya. Dia sudah tidak bisa mengontrol emosinya, rahangnya mengeras dan bola matanya sudah berubah menjadi merah. Mereka bertiga tidak tahu kalau Abel sudah berubah.

Abel mencengkram tangan Mei kuat.

"Auw! Auw! Beraninya kau mencengkram tanganku!" Mei berusaha melepaskan cengkraman Abel, tapi tidak berhasil. Dia menedang perut Abel, membuat Abel tersungkur ke tanah.

"Awh.. Dia melukai tanganku Carol!" adu Mei pada Caroline, membuat Caroline tambah marah.

"Beraninya kau!" Caroline baru saja akan menampar wajah Abel, tapi Abel menahan pergelangan tangan Caroline dengan mudah.

Abel mendorong tubuh Caroline hingga membentur pohon yang ada di belakangnya. Mei dan Luna membantu Caroline berdiri, tapi mereka kalah cepat Abel sudah menarik rambut mereka berdua dengan kuat membuat kepala keduanya tertarik ke belakang. Abel baru saja akan membanting keduanya saat tiba-tiba Ellen muncul dengan nafas tersengal-sengal. Dia kembali berlari kearah Abel dan memeluknya dari belakang.

"Hei, hei, hei sayang, hentikan itu. Lepaskan mereka berdua!" perintah Ellen lembut, membuat Abel melepaskan cengkramannya dari rambut Luna dan Mei. Setelah Abel melepaskan rambut keduanya Ellen dengan cepat memeluk Abel dari depan.

"Hei sudahlah. Aku ada disini. Aku bersamamu sayang!" Ellen mengelus punggung Abel lembut.

"Aku lapar!" ucap Abel dengan suara memelas.

"Iya, setelah ini." Luna dan Mei membantu Caroline berdiri, tubuhnya sakit karna didorong Abel tadi.

Ellen menatap miris pada baju Abel yang sudah tidak berbentuk lagi. Ellen melepas jaketnya dan memakaikan pada Abel. Ellen menatap Da Fleur dengan penuh amarah.

"Aku takkan memaafkan kalian! Pergilah!" bentak Ellen penuh emosi tapi disaat mereka bertiga hendak pergi para guru memanggil mereka semua. Ellen meminta kepada gurunya untuk pisah tenda dengan Da Fleur, untungnya para guru mengerti dan mengijinkan mereka untuk pisah tenda. Akhirnya Abel dan Ellen mendapat tenda yang lebih kecil, tapi cukup untuk mereka berdua.

Mata Abel masih berwarna merah akibat emosi dan rasa haus dan juga laparnya, tapi semua luka di tubuh Abel sudah di obati. Ellen meminta izin kepada guru-guru untuk tidak mengikuti aktifitas selama camping dengan alasan menemani Abel yang tengah sakit, setelah mendapatkan izin tersebut Ellen masuk kedalam tenda menyusul Abel yang sudah lebih dulu masuk.

Setelah masuk Ellen menutup resleting tenda itu, Ellen melihat Abel duduk memeluk kedua kakinya. Ellen hanya bisa menghela nafas lelah, dia menyelonjorkan kakinya dan menyandarkan punggungnya di tenda itu.

"Kemarilah!" ucap Ellen dengan nada lelah. Abel mengikuti perintah Ellen. Abel duduk dipangkuan Ellen, kedua tangannya memegang bahu Ellen. Abel menancapkan taringnya pada leher Ellen, Ellen memeluk pinggul Abel. Abel menghisap darah Ellen dengan rakus sedangkan Ellen hanya bisa mencengkram baju Abel, mencoba menahan rasa sakitnya.

Perlahan-lahan bola mata Abel kembali seperti semula, dan dia merasa kenyang. Abel melepaskan taringnya dari leher Ellen dan menjilat luka yang ada di leher Ellen agar darah berhenti mengalir. Air matanya jatuh, dia merasa tidak berguna dan selalu menyusahkan Ellen.

"Kenapa?" Ellen memajukan tubuhnya dan menempelkan dahinya dengan Abel.

"Aku selalu menyakitimu, gara-gara aku kamu masuk rumah sakit." Isak Abel, membuat raut wajah Ellen menjadi dingin. Dia tidak suka Abel kembali membahas hal ini.

"Iya, semua gara-gara kamu dan semua ini salahmu." Ucap Ellen dingin, Abel tersentak dengan ucapan Ellen itu. Air mata Abel semakin deras mengalir dipipinya.

"Maaf!" Abel beranjak dari tubuh Ellen. Abel memutuskan menjauh dari Ellen, dia berbaring miring menghadap keluar membelakangi Ellen. Abel terisak pelan, dia menutup mulutnya berusaha menahan suara isakannya untuk tidak keluar.

Ellen menatap punggung Abel yang membelakanginya, dia melihat bahu Abel terguncang pelan. Dia tau apa yang membuat Abel, perkataan kasarnya. Dia tidak tau kenapa bisa berkata seperti itu. Ellen mengacak rambutnya frustasi. Hari berubah semakin malam, kedua orang itu hanya diam semenjak kejadian itu.

***


Blood RedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang