Part 5: PENGAMATAN

100 5 0
                                    

"aku habis sekarang...," ucapku pada diriku sendiri, bagaimana tidak..., ada memar biru di pelipis dan tulang pipi kananku, mata ku juga memerah , kurasa pembuluh darahnya pecah.

"Bangsa akan mengamuk..., aku akan jadi bahan ejekan dan hidup neraka di SMA menanti..., ck!, kenapa juga aku harus terkena serangan saat keadaannya seperti itu!, aku akan digosipkan epilepsy nih..., akh!!," jeritku kesal sambil mengacak-acak rambut. Setelah bisa sedikit tenang, aku balik natap wajah muramku yang semakin diperparah memar jelek itu. Untunglah poniku cukup panjang dan segera ku tata hingga bisa menutupi memarnya dengan baik. tak bisa pulang kerumah dulu..., jadi aku memutuskan untuk cabut dari kelas dan berkeliaran di kota.

Aku perlu tahu kekuatan baruku lebih jauh, untuk saat ini aku mulai sadar kekuatan ini akan aktif jika aku dalam bahaya. Aku bisa dengan mudah mengatur waktu yang ingin ku ketahui. Aku tak perlu menyentuh jika ingin menggunakannya..., Ini sangat stabil..., tapi sebaiknya aku mempraktikkan hal lain yang bisa ku lakukan. Maka sekarang aku yang sedang berada di antara orang-orang yang hilir mudik di jalanan padat itu mulai focus. Menatap seekor anjing yang diikat di depan sebuah toko. Hm..., ia bakal punya anak 5 ekor dalam waktu dekat, aku melihat sebuah pohon..., ditebang untuk perluasan jalan..., kursi..., gedung..., semua..., aku bisa melihatnya seakan melihat sebuah kaset film yang bisa diputar sesukanya. Hingga aku melihat wanita yang berdiri di sebelahku, takdirnya beberapa saat ke depan...

"awas!!,"

Ckitt!!!, Bruak!!!

Tiba-tiba sebuah bus penumpang menerobos trotoar hingga menabrak tiang pembatas, aku segera menarik wanita itu menjauh. Beberapa orang terluka berat dan seharusnya wanita ini adalah korbannya. Semua pengguna jalan berhenti dan mulai berkerumun, belum juga keterkejutanku mereda, suara teriakan membuat aku berpaling. Wanita yang kuselamatkan itu ambruk begitu saja dengan tangan yang memegang dadanya. Orang-orang mengerubuni wanita itu dan berteriak meminta panggilan ambulance, aku masih saja Cuma bisa terpaku di tempat. Wanita itu harusnya mati karena kecelakaan..., dan ia benar-benar mati sekarang dengan alasan lain yang kutebak karena serangan jantung.

Aku tak ingin berlama-lama di tempat itu, dengan segera menerobos keluar dari orang-orang yang ramai-ramai ingin menyaksikan. Sepanjang perjalan pulang kerumah, tanganku yang sempat kugunakan untuk menyelamatkan wanita itu terus bergetar. Aku tak bisa berbuat apa-apa untuk melawan takdir dan itu membuatku sangat kesal.

"aku pulang...," ucapku dengan suara datar. Tapi koq tak ada yang menyahut, aku mulai curiga..., kuharap kecurigaanku tak benar. Perlahan aku mencoba membuka knop pintu, kemudian mengintip ke dalam.

"#2hf#@()&#*0!&#&!!!!!!," begitulah kira-kira makiku dalam hati. Bayangan semalam yang kulihat benar-benar terjadi sekarang, menjijikkan!.

"kalau kamarmu tak pernah kau bersihkan jangan jadikan kamar orang untuk kepuasanmu!," desisku sambil membuka kamar Bangsa tepat di sebelah kamarku. Damn..., Bangsa sebenarnya ngapain sih?, aku Cuma bisa ngeliat buku betebaran disana-sini, kesemua buku terlihat sangat tua. Dengan malas melempar tasku ke atas ranjangnya yang juga dipenuhi tumpukan buku. Apa yang sedang dibacanya?, karena terlalu penasaran, aku meraih salah satunya dan membaca judul bukunya.

"sejarah per Voodoan...," gumamku sambil kemudian meraih buku yang lain.

"jenis-jenis sihir mematikan,"

"Tarot dan nasib, magic lamp, misteri six sense..., sepertinya Bangsa berubah menjadi maniak Perparanormalan...," ucapku yang akhirnya menjauhkan buku-buku tak penting itu. Dengan malas merebahkan badan ke atas tempat tidur. Ada sedikit nyeri yang masih bisa kurasakan di ulu hatiku. Aku sama sekali tak memikirkan lagi kecelakaan dengan orang-orang berdarah dan meninggal di sekitarku tadi. Rasanya aku tak peduli lagi dengan kematian. Aku hanya menatap kosong ke satu titik dan tak butuh waktu lama hingga akhirnya aku tertidur dengan lelap.

.

.

.

Serasa semua bergoyang, sesuatu kemudian menerpa wajahku, hangat..., hingga akhirnya ada yang menempel di dahiku. Hm..., aku tak mampu berpikir karena aku benar-benar masih sangat mengantuk sampai aku mendengar suara sesuatu yang menggeretak dengan keras. Terkejut..., akhirnya aku membuka mata. Aku tak bisa bergerak karena sekarang Bangsa sudah diatasku dengan posisi paling tak nyaman yang terkadang harus ku alami. Dengan tatapan tajam Bangsa menatapku, menjauhi wajahku dan bangkit dari atas tubuhku. Bangsa langsung saja meraih jaketnya.

"kalau kau pergi, aku akan benar-benar marah kak...," ucapku dengan nada dingin. Aku tahu Bangsa pasti sudah menelusuri semua ingatanku, termasuk kejadian di sekolah. Aku ingat saat dulu ia pernah mendapati aku dibuly saat smp, ia pulang dengan kepalan tangan berdarah. Entah apa yang terjadi..., Bangsa kemudian di skors hingga 2 minggu. Bangsa terdiam di depan pintu kamar dengan tangan terkepal semakin erat.

"kau diam saja, jadi aku yang akan menyelesaikan semua...," ucap Bangsa dengan suara berat.

"aku tak mau diam kali ini!, biarikan aku yang membalas sendiri!, jangan ikut campur!," marahku sambil turun dari ranjang. Tak akan ku biarkan Bangsa bertindak sendiri kali ini, aku sudah bukan lagi anak kecil, aku tak butuh di lindungi.

"walau kau tak butuh di lindungi, aku akan terus melindungi mu Nusa..., memangnya apa yang bisa kau lakukan?, memukul anak itu terus kau di keroyok teman-temannya begitu?!,kau sampai kena serangan setelah 5 bulan gara-gara anak sialan itu!," bentak Bangsa dengan wajah merah. Aku terdiam, tapi aku tak akan mengalah.

"kalau kau tetap ikut campur..., aku pergi dari sini," ucapku singkat, keluar dari kamar Bangsa dan bahu kami sempat bertabrakan. Aku tak peduli pada panggilannya, Cuma butuh ketenangan untuk saat ini, bahkan aku tak mempedulikan Anna yang sedang menonton, dengan cepat nurunin tangga dan keluar dari apartement itu. Hm..., kemana aku harus pergi ya?, sepertinya memiliki satu atau dua teman akan membantu..., ingatkan aku besok untuk mencari teman di sekolah.

"sial!, bocah brengsek itu melukai Nusa begitu saja, kalau saja Nusa tak melarang sudah ku buat dia masuk rumah sakit!," jerit Bangsa frunstasi. Anna menatap suaminya itu maklum. Ia juga sempat melihat wajah Nusa yang membiru, dan itu membuat ia marah pada pelakunya. Anna telah menikah dengan Bangsa selama setahun, ia menyusul mereka agak terlambat ke Amerika karena urusannya sebagai polisi, da masih banyak yang harus di selesaikan. Dengan erat Anna memeluk Bangsa, menepuh pundaknya menenangkan.

"percayalah pada adikmu..., dia pasti bisa menyelesaikannya sendiri, dan yakinlah saat ia membutuhkannya, ia akan segera meminta bantuanmu untuk menolongnya," ucap Anna membesarkan hati kekasihnya itu. Anna tahu Bangsa merasa kehilangan saat ia tak lagi bisa melindungi adiknya seperti dulu, tapi hei..., Nusa juga anak laki-laki yang suatu saat akan mengandalkan kekuatannya sendiri untuk berjuang. Bangsa menghela nafas pelan, kemudian menatap Anna dengan senyum tipis. Anna sangat menyukai senyum Bangsa dan suaminya itu langsung memerah setelah ia memuji senyumnya di dalam hati.

"jangan biasakan mengintipi pikiran orang seperti ini!," protes Anna sambil mencubit pinggang Bangsa yang meringgis kecil, kemudian ia tertawa lebar. dasar..., pria itu sama sekali tak akan menghentikan kebiasaannya. Biarlah..., Anna juga tak berniat menyimpan sesuatu dari Bangsa.

Tak jauh dari apartemennya, Nusa duduk sambil menjilati es krimnya. Dia hanya terdiam sendirian duduk dibawah sebuah pohon taman kota. Ada banyak orang di taman itu, dan kebanyakan adalah keluarga dengan anak-anak yang sibuk melakukan piknik kecil. Hari memang hampir sore, tapi ini adalah waktu tepat untuk bersantai. Suasana tenang itu langsung berubah saat Nusa merasakan sesuatu melewati dirinya..., sensasi dingin meremangkan bulu kuduknya. Nusa segera memalingkan wajahnya ke belakang, mencari sumber aura yang kental dengan kematian itu. Ya..., Nusa akan merasakannya jika di sekitarnya berkumpul ingatan-ingatan kematian sadis. Tepat di belakang Nusa seorang pria dengan mantel berkerah tinggi lewat, ia tak bisa melihat wajahnya. Namun Nusa terpana dengan kilasan masa depan yang di lihatnya dari pria itu.

"Huek!!, uhuk!, uhuk!," Nusa langsung berbalik dan memuntahkan isi perutnya. Tak peduli lagi pada pria itu, Nusa berusaha bangkit. Ia sadar posisinya saat ini tak baik, sama sekali tak baik saat ia merasa pundaknya semakin berat dan berat. Dengan bersusah payah Nusa kembali ke apartemen, segera Nusa menerobos ke dalam kantor Bangsa. Mencoba meraih sesuatu hingga ia tak sanggup lagi bertahan, pertahanannya runtuh dan kesadarannya tergantikan dengan kesadaran seseorang, saat ia merasakan sesuatu menghujam lewat organ bawahnya...

"Argh!!!!," Nusa berteriak kencang dengan tubuh menggelepar di lantai....



BIAS INGATANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang