HS Corporation, 4 sore.
"Nyet, lu nggak pulang?" tanya Ginan sambil menyandarkan bahu kanannya malas di rangka pintu ruang kerja Mahesa.
"Bentar mbu, gue beresin dulu meja gue."
Ginan mengangguk tak kentara. Dilihatnya Mahesa agak aneh 2 hari ini. Sahabatnya semenjak duduk di bangku kuliah itu terlihat sangat muram. Dia yang biasanya mengingatkan Ginan untuk ini dan itu, kini malah sebaliknya. Benar, Mahesa seperti orang linglung tanpa tumpuan.
Lima belas menit kemudian, Ginan dan Mahesa telah berada dalam mobil yang berjalan pelan menyusuri kemacetan Sudirman sore ini. Beberapa kali Ginan hanya menghela nafas yang masih terbilang stabil untuk ukuran orang yang sangat lelah. Sementara Mahesa sibuk dengan pandangannya lurus ke depan, entah itu fokus atau malah pikirannya sedang kabur ke negeri antah brantah.
Rasa bosan mulai menghinggapi Ginan yang sedari tadi resah akan keadaan Mahesa. Ia ingin memutar lagu favoritnya - Sheila on 7_Lapang Dada - yang sudah dua hari ini terputar di playlist-nya.
"Mbu, bisa nggak lu matiin lagu itu?" pinta Mahesa.
Ginan melongo sebentar, "Memangnya kenapa Nyet? Kan lagunya bagus."
Mahesa hanya bergeming dan menghela nafasnya kasar. Menangkap isyarat itu, Ginan kontan mengecilnya volume music player yang bersarang dengan nyaman di dashboard mobil Mahesa.
"Lu kenapa sih Nyet? Dua hari ini lu aneh banget deh." Kata Ginan sambil menghadapkan tubuhnya ke pemuda yang duduk di samping kanannya.
"..."
"Nyet, are you okay?"
Mahesa melirik Ginan dari ekor matanya. "Actually not."
"Apa gue boleh tahu sebabnya?"
"..."
"Nyet..." lirih Ginan masih berharap Mahesa akan menjawab rasa penasarannya.
"Lu bisa diem nggak sih. Gue lagi konsentrasi." Mahesa menjawab dengan nada jengkel.
Jlegaaarrrrggghhh...
Suara kilat diiringi bunyi gemuruh di atas langit mendung sudah menjadi rutinitas yang lumrah dipenghujung bulan Desember - seperti sekarang ini. Sedetik kemudian hujan turun dengan derasnya, membasahi bumi Jakarta yang masih saja penuh sesak kendaraan. Ginan masih enggan untuk melanjutkan pertanyaannya, namun rasa khawatirnya pada Mahesa semakin menguat hingga ia tak peduli lagi kalau nantinya Mahesa akan murka.
"Lu kenapa sih? Gue heran deh. Gue nanya baik-baik tapi lu malah bentak gue."
"Lu bisa diem atau lu turun sekarang." Ancam Mahesa yang kini dikuasai amarah.
"Oke kalau itu mau lu, pinggirin mobilnya."
Sadar akan jawaban Ginan, membuat Mahesa menyesali ucapannya beberapa detik yang lalu.
"Mbu maaf. Gue - "
"Pinggirin sekarang Hes."
"Nggak Nan, gue nggak akan biarin lu turun. Sekarang lagi hujan deres."
"Pinggirin sekarang!!!" perintah Ginan dengan nada tegas.
"Nggak, Kinan. Lu nggak boleh tinggalin gue."
Ada jeda lebih dari 5 detik, sebelum otak Ginan kembali berpikir dengan normal. Kinan. Siapa dia? Kenapa Mahesa tak pernah mengenalkan seseorang bernama Kinan itu padanya?
"Mahesa Hadiwidjaja," Ginan menyebutkan nama lengkap pemuda yang telah salah memanggil namanya 1 menit yang lalu. Ini pertanda ia sudah tak bisa menguasai emosinya. "Gue Ginan, Ginanjar Yogaswara bukan Kinan. Sekali lagi gue tegasin ke elu, nama gue Ginan bukan Kinan."
KAMU SEDANG MEMBACA
Promise Me, I am the Only One
RomanceGinanjar Yogaswara -- kalau aku tak bisa mempercayakan lagi hatiku padamu, kamu mau apa? Radian Suryantara -- apakah tidak ada kesempatan kedua untuk kita? Pradipta Soedirapradja -- bolehkah aku memilih jalan cinta ini? Nadira Prameswari -- apa yan...