Cassanova Tower, 10 pagi.
Ginan baru saja terbangun dari tidurnya. Matanya sembab. Semalam ia tak bisa menghentikan air matanya dan baru bisa tidur selepas subuh. Bukan karena dia tak ingin dicintai oleh Mahesa, namun ia menyesali karena hatinya masih mati rasa.
Cinta itu omong kosong. Tapi komitmen itu segalanya.
Tak penting cinta itu berjalan beriringan atau tidak, namun kehadiran komitmen akan menguatkan kedua sisi yang belum tentu punya puzzle yang pas. Ginan dan Mahesa adalah dua sisi mata koin yang saling melengkapi tapi tak bisa saling disandingkan. Tak bisa ditatap bersamaan tapi keduanya ada dalam satu genggaman.
Pandangan Ginan menyusur ke atas langit-langit kamar yang dihiasi lampu gantung kecil dengan rangka lumba-lumba— yang sengaja ia pesan khusus dari pembuatnya. Pikirannya melambung pada kata-kata Mahesa semalam.
"Gue cinta sama lu, Mbu."
Air mata mulai membanjiri di pelupuk matanya. Lirihan suara Mahesa masih menggema di dalam kepalanya. Rengkuhan Mahesa itu bukan rengkuhan seorang sahabat, namun rengkuhan ketulusan yang hangat sarat akan cinta.
Ginan bisa merasakan kalau Mahesa serius dengan apa yang dirasakannya, tapi bukan sekarang waktunya. Hatinya masih hancur. Sakit, masih sakit. Ginan tak ingin mencintai Mahesa dengan hati yang terluka. Ia masih ingin sendiri.
'Coba kalau lu bilang cintanya dari awal dulu, Nyet, hidup gue nggak bakal seberantakan ini.' Ginan membatin sambil menyeka air matanya.
Ponselnya meraung-raung dan bergetar di atas nakas di kanan ranjangnya. Ginan menatap layarnya sebentar sebelum mengangkat panggilan dengan nomor tak bernama. Panggilan itu bukan dari Indonesia. Agak ragu, Ginan menggeser icon gagang telepon berwarna hijau itu.
"Hallo..." ujarnya pelan.
"Moshi-moshi... Ginan nii-chan!!!" teriak bocah kecil diujung telepon sana.
Alvaro. Suara bocah itu seperti hujan yang mengguyur gurun kering. Hati Ginan sedikit lega, akhirnya dia mendapat kabar dari bocah kecil yang sudah ia anggap seperti putranya sendiri itu.
"Nii-chan kangen sama Al. Kamu ke mana saja sayang? Kenapa nggak pernah main ke rumah nii-chan?"
"Al ikut Okaa-san di Kyoto. Otou-san nggak bisa rawat Al lagi karena sudah ada bunda Dira."
Degh...
Baru saja Ginan lega, tapi hatinya kembali mendapat deraan palu godam. Remuk, hatinya merasa dikhianati. Pengakuan Alvaro membuatnya semakin marah pada Dipta. Bukankah dulu Dipta bilang bahwa keputusan yang akan ia ambil akan ia lakukan untuk kebahagiaan Alvaro. Tapi kenyataannya, anak itu malah diserahkan kepada ibu kandungnya.
'Berengsek!' umpat Ginan di dalam hatinya.
"Moshi-moshi... onii-chan..." sapa Alvaro memastikan bahwa Ginan masih dalam sambungan telepon yang sama dengannya.
"Sejak kapan Al di Kyoto?" tanya Ginan.
"Pokoknya habis Otou-san menikah."
Benar saja. Ginan tak pernah dapat kabar dari Alvaro sejak pernikahan Dipta dan Dira. Tapi setega itu kah Dira menyuruh Dipta untuk menyerahkan hak asuh Alvaro pada ibu kandungnya? Bukankah waktu itu Dira sendiri yang mengaku kalau hatinya telah dicuri oleh bocah lucu itu?
'Oh iya, cinta itu memang omong kosong,' batin Ginan yang baru menyadari bahwa setiap orang akan menjadi egois saat dia jatuh dalam perangkap cinta. Egois pada dirinya, juga egois pada pasangannya. Tapi Ginan cukup lega karena ia tak harus menikmati kebahagiaan semunya bersama Dipta. Tuhan Maha Tahu, Dia telah menunjukkan bahwa Dipta bukan yang terbaik untuknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Promise Me, I am the Only One
RomanceGinanjar Yogaswara -- kalau aku tak bisa mempercayakan lagi hatiku padamu, kamu mau apa? Radian Suryantara -- apakah tidak ada kesempatan kedua untuk kita? Pradipta Soedirapradja -- bolehkah aku memilih jalan cinta ini? Nadira Prameswari -- apa yan...