Benang Merah

5.8K 564 147
                                    

Cassanova Tower 26, 4 sore, 2 Januari.

Suasana apartemen CSN-26 kembali hidup setelah penghuninya kembali dari rumah sakit. Mahesa sudah diperbolehkan pulang dan menjalani program rawat jalannya. Kini Ginan harus menyediakan waktu 24 jam untuk sahabatnya itu. Ia tak mau kalau Mahesa lalai dengan larangan-larangan yang telah disampaikan oleh dokter Risa. Jadi, Ginan lebih memilih mengerjakan semua pekerjaannya di sepetak ruang kerja yang terletak di lantai atas apartemennya.

Saat pulang tadi, Ginan dibantu Mandala dan Dira untuk membawa barang-barang Mahesa beserta mengurusi semua administrasi rumah sakit. Sebenarnya Romo dan Ibu meminta agar Mahesa dirawat di rumahnya saja, tapi yang mau dirawat malah memilih tetap pulang ke apartemen Ginan. Apa boleh buat, akhirnya Ginan mengajukan izin agar ia saja yang merawat Mahesa dan berjanji akan selalu memberi kabar terkait kesehatan Mahesa.

"Mbu..." panggil Mahesa saat Ginan sibuk menata baju-bajunya ke dalam lemari pakaian.

"Hhmm..."

"Kok kemarin lu sama mas Dipta jadi agak canggung gitu ya?"

"Nggak apa-apa kok, Nyet."

"Ah... Gue nggak percaya."

"Percaya sama gue ya. Gue baik-baik aja kok."

"Nggak, gue nggak percaya sama lu. Gue tahu lu sedang nggak baik-baik aja, Mbu."

"Itu perasaan lu aja kali, Nyet." Jawab Ginan masih menyibukkan dirinya dengan pakaian Mahesa. Ia tahu, ia tak boleh menunjukkan ekspresi wajahnya sekarang. Ekspresi yang tak bisa di artikan pada Mahesa.

"Gue mau lu tatap mata gue, Mbu. Sekarang!" desak Mahesa.

Sejenak tubuh Ginan menjadi kaku dan dadanya mulai bergemuruh hebat. Pasalnya pemuda bertubuh ramping itu tak bisa berpura-pura kalau ia baik-baik saja, setelah mendengar penjelasan dari Dipta kemarin malam.

"Bener kan dugaan gue. Lu memang lagi nggak baik-baik saja." Kata Mahesa yang kali ini mencoba bangkit dari ranjangnya.

"Sudahlah Nyet. Nggak usah khawatirin gue. Sekarang yang harus diprioritasin tuh kesehatan lu. Gue nggak mau ya kalau lu nggak sembuh-sembuh soalnya gue sudah janji sama Romo sama Ibu."

Mahesa memeluk Ginan dari belakang tubuhnya. Pelukan hangat dan erat yang syarat akan kasih sayang. Ginan memejamkan matanya untuk menahan agar bulir-bulir hangat tidak jatuh dari pelupuk matanya.

"Lu jujur deh sama gue. Nggak usah lu tutup-tutupi lagi."

Ginan langsung berbalik dan mendekap tubuh Mahesa lebih erat dari sebelumnya. Tangisan itu memang tanpa suara, namun cukup menyayat hati.

"Memangnya ada apa sih, Mbu?"

"Dua hari lalu, mas Dipta minta gue buat jadi kekasihnya. Tapi kemarin malam dia minta putus, Nyet. Rasanya gue seperti diajak terbang tinggi, terus saat gue sadar dia sudah hempasin gue kembali ke tanah kering dan tandus. Gue hancur, Nyet."

"Tapi dia nggak mungkin mutusin lu tanpa alasan, kan?"

"Gue juga nggak ngerti, Nyet. Kenapa semua jadi kayak gini?"

"Mungkin dia belum siap untuk menjalani cinta sejenis ini. Mas Dipta itu straight, Mbu. Pasti dia sedang mencari kebenaran akan rasa cintanya. Lagian mas Dipta juga punya Alvaro. Bocah itu masih butuh kasih sayang seorang Ibu."

"Tapi kan gue juga bisa rawat Al kayak anak gue sendiri, Nyet."

"Iya gue tahu, Mbu. Tapi ya tetep beda rasanya, sayang dari seorang wanita dengan kasih sayang seorang pria. Takutnya nggak baik buat perkembangan mental Alvaro."

Promise Me, I am the Only OneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang