Meet Up

6K 562 40
                                    

Kyoto Train Station, 6 petang waktu setempat.

Ginan berjalan keluar stasiun dengan menarik kopor ukuran medium berwarna coklat gelap. Matanya menyusuri setiap jengkal stasiun Kyoto. Suasana stasiun yang ramai membuatnya tertegun. 'Kyoto adalah tempat orang-orang pekerja keras,' batinnya.

Seperti yang dijanjikannya pada Tuan Aoyama, Ginan berdiri tepat di pelataran depan stasiun Kyoto. Ya, satu bulan sudah berlalu, tapi Ginan masih enggan untuk menghubungi Mahesa. Ginan sengaja baru akan memberi kabar pada lelaki itu setelah ia bertemu dengan Alvaro.

Mata Ginan kembali menelisik hingga ia menemukan sosok bocah kecil yang berlari ke arahnya. Bocah yang selama ini ia rindukan kehadirannya. Ginan merentangkan kedua tangannya untuk menyambut Alvaro.

Hatinya menghangat saat dekapan tangan bocah itu semakin erat terkalung di bahunya. "Al kangen Ginan nii-chan," bisik Alvaro yang seluruh wajahnya terbenam di bahu kanan Ginan.

"Nii-chan juga kangen sama Al." Ginan mengeratkan lagi kedua tangannya untuk merengkuh tubuh mungil Alvaro.

Tuan dan Nyonya Aoyama terharu melihat cucunya memeluk pemuda yang sudah lama tak dijumpainya.

"Terima kasih nak Ginan sudah mau menjenguk Alvaro," kata Tuan Aoyama saat Ginan berdiri dari posisi jongkoknya dengan Alvaro yang kini berada di samping kanannya.

"Sama-sama tuan Aoyama," jawab Ginan seraya menganggukan kepala.

"Panggil saja Ayah. Kamu boleh menganggap saya sebagai Ayahmu, nak." Tuan Aoyama tulus mengatakan kalimatnya itu.

Ginan terperangah mendengar ucapan tuan Aoyama. Tapi sebelum ia berbicara, tuan Aoyama mendahuluinya lagi. "Jangan tanya kenapa, nak. Justru suatu kehormatan bagi saya dan istri saya jika kamu mau menerima kami sebagai orang tuamu. Kamu orang yang baik, kamu juga sangat menyayangi Alvaro seperti anakmu sendiri. Tak ada alasan lagi untuk tidak menganggapmu sebagai keluarga kami."

Setitik air mata mulai menghiasi ekor mata Ginan. Ia tak bisa menyangkal apa-apa, yang perlu ia lakukan sekarang adalah menerima niatan baik dari keluarga Aoyama. "Baiklah Ayah, Ibu." Ginan memeluk satu per satu tuan dan nyonya Aoyama.

"Kalau begitu, Al mau manggil Ginan nii-chan, Papa." Alvaro menyahuti dengan antusias. Hanya kebahagiaan yang mengisi hati bocah kecil itu. Ginan tersenyum lalu mengusap lembut puncak kepala Alvaro.

"Sebaiknya kita pulang sekarang," ajak nyonya Aoyama.

***

Mobil Veloz milik keluarga Aoyama memasuki pelataran rumah yang cukup megah. Taman khas Jepang terlihat mempesona memantulkan cahaya lampu taman yang temaram. Di dekat pintu masuk berjajar rapi pot berisi tanaman bonsai yang meliuk artistik.

"Lanskap rumah ini sangat futuristik ya," komentar Ginan saat berjalan menuju pintu utama. Ia tahu bahwa sangat tidak sopan membahas rumah seseorang—terlebih orang Jepang yang notabene sangat menghargai privasi orang lain, tapi rasa takjubnya mengalahkan senangnya. "Maaf kalau saya lancang berkomentar," lanjut Ginan.

Tuan Aoyama mengibaskan tangannya dengan cepat. "Tidak, tidak, kamu tak perlu sungkan nak. Sekarang rumah ini adalah rumahmu juga. Dulu Ayahnya Dipta juga suka menunjukkan antusiasnya pada apapun yang menarik perhatiannya dan untungnya keluarga Aoyama bisa memakluminya. Kami lebih senang pada orang-orang yang apa adanya. Kami memang orang Jepang tapi kami punya toleransi yang tinggi pada kerabat yang punya budaya berbeda. Kami lebih suka pada kebebasan berpendapat seperti orang-orang Indonesia. Itulah mengapa Ayah bisa bersahabat baik dengan Ayahnya Dipta." Tuan Aoyama menjelaskan dengan gamblang pada Ginan.

Ginan tersenyum dengan pipi merona,"Terima kasih, Yah." Ginan menjawab dengan canggung.

Nyonya Aoyama tersenyum simpul. "Tak perlu canggung nak. Nanti kamu juga akan terbiasa memanggil kami Ayah dan Ibu."

Promise Me, I am the Only OneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang