Sudah dua hari ini aku berada di rumah, tak banyak kegiatan yang kulakukan, sebagian besar menenangkan diri di kamar, ternyata cukup ampuh juga, semua perasaan sakit, bersalah yang bercokol kemarin sudah berkurang banyak, perasaanku pun terasa lebih baik apalagi semua permasalah dan kesalahpahaman dengan papa sudah clear. Ponsel samasekali tak ku hiraukan, sepertinya benda satu itu kehabisan batre karena tak ada tanda-tanda orang menghubungi, atau mungkin saja memang tidak ada yang peduli.
Berdiri di samping jendela kamar seperti ini memang kebiasaanku sejak lama, menatap pemandangan kota yang mulai merah jingga karena sudah hampir sore, aku termenung lama sampai merasakan perasaan lain di sudut hatiku yang tidak terlalu besar, perasaan rindu pada sosok itu, dua hari ini tak melihat wajah sinis penuh piercing-nya, atau rambut mowhaknya, pandangan mencemoh atau kata-kata kasarnya. Walau akal pikiranku berusaha menolak itu semua, tapi perasaanku tetap menang, akal memang bisa dikendalikan tapi perasaan memang sulit. Aku harus kuat jika ingin mempertahankan pernikahan ini, sampai aku butuh cukup kenyataan bahwa ini hanya anganku belaka, jika saat itu tiba aku benar-benar akan menyerah.
Kuputuskan untuk turun, terlalu banyak memikirkan masalah juga tidak baik, pikiran melantur dan perasaan labil bukan kombinasi yang menarik untuk ku jadikan senjata menghadapi Jagad saat balik lagi ke kontrakan kami. Aku menghentikan langkah menuju dapur saat melihat siapa di sana, sedang membicarakan soal bisnis dengan Papa, pekerjaan apalah itu aku kurang mengerti, aku bingung, sejak kapan Jagad mengerti soal Bisnis? Atau perusahaan?.
Aku pikir anak punk itu urusannya dengan jalanan,apa hanya aku sekarang yang kurang informasi?.
Kuperhatikan lagi sosok itu dari persembunyianku, gaya berpakaiannya tak berubah, jaket denim yang menutupi kaos hitamnya, celana ketat pensil yang membungkus kakinya, ada yang berbeda dari penampilannya tapi apa ya? Tak butuh lama untuk menyadari apa yang beda darinya, rambut mowhak bagian atas dan tengahnya diikat dengan bagian kiri kanas menipis hingga memperlihatkan kulit kepalanya dan iu membuatnya terlihat lebih matanh dan sialan sangat tampan.
Aneh sekali kenapa penampilannya yang kontras dengan Papa yang terkesan rapi di rumah ini tidak terlihat asing, ataupun janggal, Papa tak tampak risih ngobrol dengannya yang terkesan urakan, malah terlihat santai dan nyaman sesekali melempar candaan.
Dadaku berdebar dengan kuat dan cepat saat wajah tampannya kambali tersuguh lebih bersinar dengan senyumannya itu, Ku tahan keinginan untuk keluar dan menuju mereka dengan sekuat hati, perasaan Rindu ini bahkan membuatku ingin segera meloncat dan memeluknya, aku rasa pikiranku sudah mulai terganggu.
***
Bergegas menyembunyikan diri saat bik Mar menghampiri tempatku berdiri. Tapi perkataan Bik Mar tanpa rasa kaget melihatku membuatku malah terbengong.
"Non, suami non sama bapak minta non ke bawah ikut makan"
"Lhoh, mereka tau kalau saya disini bik??" Gelagapan aq sedikit mengintip keadaan disana,tak ada yang aneh.
"Ndak kok non, cuman bibi tadi ndak sengaja liat non sembunyi-sembunyi..." Secara tak sadar nafasku terhela dengan panjang. Untung saja.
Sepeninggal bik Mar aku Mengambil jeda waktu cukup agar mereka tidak curiga kalau dari tadi aku sudah di sini mencuri dengar. Keduanya menoleh saat mendengar langkahku mendekati meja makan, sempat kutangkap pandangan tajam dari Mas Jagad, kilatan kemarahan tak bisa disembunyikannya padaku, aku sudah mulai mengenalnya, mungkin tidak bisa di baca oleh Papa, tidak begitu denganku yang ternyata mengenalnya sebanyak ini. Aku juga terkejut dengan diriku sendiri.
Mas jagad menarik kursi di sampingnya, apa itu sebagai isyarat untukku?? ah, entahlah aku tidak ingin mempermalukan diri sendiri dengan mengikuti kemauannya, kalaupun benar aku juga tidak akan mudah di dapatkan, pura-pura tidak lihat saja, aku duduk di samping Papa yang membuat Mas Jagad terlihat geram. Terserah saja apa maunya. Bukannya dia senang aku tidak menempel padanya terus? .