Warning!!!
Belum diedit.
Selamat membaca semua.***
Tirai abu itu mulai menguak, aku mulai kebingungan kenapa berada di sini, seharusnya aku tidak di sini, aku takut, Papa tidak akan suka kalau tahu ini.
Aku mencoba berlari, tapi begitu sulit, kakiku tidak bergerak sama sekali. Kekalutanku semakin menjadi saat pemandangan di balik tirai sangat aneh. Siluet dua orang yang tadi tertutup tirai kemudian menjadi jelas...
Ada sepasang laki-laki dan perempuan dengan potongan rambut pendek yang sangat ku kenal, mereka tertawa bersama dan berpelukan tanpa sehelai kain menutup tubuh mereka.Papa dimana? Ini salah, aku pernah dengan tidak sengaja melihat Irene bersama Papa melakukan itu,Kenapa Irene melakukan itu dengan laki-laki lain? Seharusnya Irene bersama papa.
Mungkin Irene lupa,aku akan memberitahunya, aku mencoba mendekat namun yang terjadi kusadari aku telah dalam posisi yang berbeda,terduduk diatas kursi dengan gesekan tali dari kayu membuatku meringis, seluruh tubuhku terikat kuat.
Aku mendongak, dan tubuhku bergetar penuh kalut saat mendapati Irene tidak menolongku sama sekali, dia tetap memperhatikanku tanpa mengehentikan kegiatan tidak senonoh itu, dia tidak mengalihkan pandangan dariku, menguncinya dan tertawa girang, seakan penuh kepuasan dengan tatapan terluka dan tersiksaku pada apa yang dilakukannya pada lelaki telanjang di depannya.
Aku tetap terikat, pedih di hati rasanya,aku memejamkan mata dan membuka perlahan, pemandangan berganti secepat kilat, seakan aku sedang menonton screen besar dengan Irene sebagai tokoh utamanya, pemandangan kedua memperlihatkan Irene dengan teman Papa di dapur dan aku disana menangis menyaksikan itu.
Semua adegan itu terus berganti dan menyadarkanku satu hal. Itu memang perbuatan Irene. Dia sengaja.Keringat dingin mulai membasahi seragam putih biruku. Sesak kurasa di dada dan tenggorokanku seakan ada ribuan tangan mencekik. Aku hampir tersedak sebelum belaian tangan di wajahku terasa lembut, tangan -tangan pencekik tadi hilang begitu saja berganti dengan perasaan damai luar biasa, aku tetap terpejam sampai belaian telapak tangan itu menghilang, membawaku ke dalam tidur yang begitu lelap dan nyaman.
***
Kekhawatiranku akhirnya mereda saat melihat raut mimik wajahnya yang perlahan mengendur tak tegang seperti tadi, Apa ini Tuhan?
Aku membawa kepalanya ke pelukanku, mengusapnya pelan penuh kasih sayang dan mengecup puncak kepalanya berkali - kali seperti menenangkan bayi. Dia tetap tidur. Aku berharap apapun yang terjadi di dalam mimpinya bukan sesuatu yang mengerikan, aku menguatkan perasaanku mengatakan pada diri sendiri bahwa semua baik - baik saja, tetapi teriakan yang teredam dari tenggorokannya tadi,tetesan kecil yang keluar dari darah akibat dirinya menggigit bibir yang terdapat tindik disana, gambaran bagaimana dia meringis penuh kesakitan dengan mata yang terpejam namun mengeluarkan air mata mampu membuatku meluruh kembali, pertahananku langsung hancur. Seorang lelaki hampir kepala tiga, bermimpi seperti sedang menghadi sesuatu hal yang nyata. Air mataku mengalir begitu saja. Aku tetap mengelus rambutnya meski suara isakanku mati-matian aku tahan. Aku tidak peduli lagi bagaimana tubuh telanjangku menyatu dengannya sekarang. Ini sama sekali tidak membuat risih, bahkan nyaman. Terlalu nyaman mungkin.
Aku tidak bisa membayangkan semengerikan apapun yang suamiku ini impikan. Namun anehnya aku bisa merasakannya, merasakan bagaimana ketakutan, perassaan sakit yang ia perlihatkan.
***
Aku terbangun begitu saja,tenggorokanku terasa kering dan badanku begitu lengket, ku sibak selimut putih yang dari tadi melilit tubuh,dan betapa kaget saat sapuan udara dingin begitu terasa,dengan jantung yang berdegup aku kembali menyusupkan diri di balik selimut, memastikan tubuh polosku tertutup.
Jika kalian berpikir Kalau aku telanjang. Iya. Kalau aku kaget ya. Tapi aku samasekali tidak lupa bagaimana rentetan kejadian semalam begitu terasa, seperti mimpi.