Tiga Puluh Dua Jam

390 43 12
                                    

[Dibuat pada 28 Oktober 2015]

Sore ini, berita tentang kabut asap kembali ditayangkan. Belum ada kepastian kapan ia akan hilang, kapan laju jatuhnya korban-korban pengidap ISPA--Infeksi Saluran Pernapasan Akut--dapat dihentikan.

Semua yang ada di berita itu tidak salah, aku mengalaminya sendiri. Bertandanglah ke kediamanku, dan kamu akan menemukan hal selain kabut asap yang sedang hangat diperbincangkan banyak orang: kedua orangtuaku yang tengah menyusun rencana hidupku ke depan, tepat setelah berita di televisi itu selesai.

"Baik, sudah diputuskan." Ayah tiba-tiba berseru dan menatapku dengan pandangan yang sulit diartikan.

Aku menoleh sedikit, tak sekadar mengandalkan ekor mataku untuk balik menatap Ayah. "Apanya?"

"Rencana kuliahmu," Ibu menyahut. "Besok kamu berangkat ke Jogja."

Ya, aku memang belum memutuskan akan kuliah di mana. Rencana kuliah di luar daerah tempat tinggalku juga kedengarannya asyik. Sayangnya, aku tidak ingin meninggalkan kedua orangtuaku di Palembang dengan tingkat pencemaran udara tinggi seperti ini. Setidaknya mereka bisa ikut denganku juga, kan?

"Kamu sudah cukup besar untuk bisa hidup mandiri, Bay. Berangkatlah ke Jogja dan tinggal di rumah Pamanmu selagi kamu belum dapat indekos yang cocok, tempat maupun harganya," kata Ayah, menekan pundakku dengan kedua tangannya dan memberiku tatapan penuh arti. "Nanti kalau sempat, Ayah dan Ibu akan berkunjung ke indekosmu, hitung-hitung berlibur."

Aku sungguh tahu maksud kalimat Ayah adalah, nanti kalau ada uang, tapi aku tak berniat membantahnya.

"Kemas barang-barangmu, besok Jumat kamu berangkat naik bus pukul delapan pagi."

* * *

Sejak orangtuaku memberitahu rencana mereka padaku, aku memang tiga perempat tidak tertarik, seperempat antusias dengan kehidupan kuliahku di Jogja kelak. Maka, begitu masuk ke dalam bus dan duduk di kursiku, langsung kusumpal kedua lubang telingaku dengan headset dan mendengarkan alunan lagu, menunggu bus yang akan membawaku ke Jogja berangkat.

"Oh, pantas enggak dengar."

Mataku yang semula terpejam membuka, spontan melirik sumber suara. Aku cukup kaget mendapati seorang gadis sudah duduk manis sambil menatapku balik, padahal aku tidak merasakan kehadirannya di sebelahku.

"Mendengarkan lagu atau ketiduran? Saat tas bajuku jatuh kamu tidak berinisiatif membantu atau semacamnya, padahal penumpang di kursi paling depan saja dengar suara debumannya." Ia menyilangkan tangannya, memasang raut wajah kesal.

Aku melepas headset-ku, mematikan lagu dari ponselku dengan cepat. "Busnya sudah jalan?"

"Menurutmu?"

Tebakanku benar. Begitu kualihkan pandangan ke luar jendela bus, pemandangan di luar seolah bergerak, dan yang pasti lanskap di luar sana tidak menunjukkan ciri-ciri sebuah terminal bus.

Puas menikmati pemandangan di luar, mataku menjelajahi seisi bus. Mulanya tertarik dengan seorang bapak tambun dengan jenggot yang kesemua bagiannya sudah memutih, kemudian beralih pada seorang ibu berjaket yang sudah pulas di kursinya sementara anak-anaknya mendebatkan hal yang tidak penting, beralih lagi pada gadis berbaju polkadot yang tampak risi dengan asap rokok penumpang di sebelahnya. Jelas saja gadis itu risi, memangnya kabut asap yang mengungkung daerah tempat tinggalnya masih belum cukup?

Hingga akhirnya, kedua mataku tertumbuk pada sosok gadis bertopi terbalik di sebelahku. Sepertinya tadi dia bicara soal tas, tapi aku tidak terlalu mendengarnya.

Mosaik KehidupanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang