Saya Harus Marah ke Siapa?

248 28 7
                                    

[Dibuat pada 10 Juni 2016]

Ditemani uap kopi yang mengepul di sekitar mulut cangkir, juga harum pisang goreng yang menguar dari piring ceper, Andi melambaikan tangannya pada bocah lelaki yang berjualan koran di perempatan. "Korannya satu, Dek."

Sepasang kaki yang tak mengenakan alas itu berlari mendekat, lantas bocah tersebut mengangsurkan koran yang diminta pria di hadapannya. "Tiga ribu, Pak."

Andi tersenyum, mengeluarkan tiga lembar uang seribuan dari dompetnya untuk diserahkan pada bocah penjual koran.

Saat bocah tersebut hendak berbalik ke trotoar perempatan, Andi mencegahnya. "Dek, duduk di sini aja, temani saya ngopi." Ia menepuk kursi kosong di sebelahnya. "Sekarang baru jam setengah enam. Lebih baik kamu di sini dulu, saya traktir sarapan sambil nunggu jalannya ramai. Gimana?"

Mulanya si bocah penjual koran enggan berbalik dan duduk di sebelah Andi. Namun setelah terdiam untuk beberapa saat, ia akhirnya menyambut baik tawaran pria berkemeja itu.

"Kamu mau makan apa?"

Lawan bicara Andi menggeleng pelan, menunjuk pisang goreng yang berada di piring ceper. "Saya makan pisang goreng aja, Pak."

"Saya pesankan susu, ya?" tawar Andi. Melihat sekilas saja, ia prihatin dengan kondisi bocah lelaki ini. Selain bajunya yang lusuh, ia juga tidak beralas kaki. Rambutnya kusut masai. Kulitnya hitam legam―yang menurut Andi disebabkan oleh paparan sinar matahari yang menyengat kulit setiap hari. Selain itu, tubuhnya kurus dan tidak terlalu tinggi. Boleh jadi bocah ini jarang minum susu, atau makan makanan yang bergizi. Makanya Andi berinisiatif membelikan susu untuk bocah penjual koran tersebut.

"Terserah Bapak aja."

Andi memanggil pemilik warung, menambah segelas susu pada daftar pesanan.

"Nama kamu siapa?" tanya Andi selagi menunggu susu pesanannya untuk si bocah lelaki tiba.

"Ari, Pak," jawabnya. "Kalau Bapak?"

"Andi."

Ari manggut-manggut. Ditatapnya pria baik hati yang mengajaknya sarapan pagi ini, selagi Andi tidak menatap balik ke arahnya. Pria berkemeja itu terlihat seperti businessman―barangkali direktur atau manajer muda―di mata Ari, hanya dengan tampilan yang lebih kacau. Kemeja lengan panjangnya digulung hingga siku. Dasinya kendur, benar-benar kendur hingga terlalu miring ke kanan. Rambutnya acak-acakan, entah memang sengaja diacak-acak atau bagaimana. Namun, yang paling menarik perhatian Ari adalah sorot matanya, juga kantung mata hitam di bawah bola mata Andi.

Sorot mata itu tidak bisa berpura-pura. Tidak seperti senyum ramah yang terpampang di wajahnya.

"Monggo." Pemilik warung meletakkan segelas susu di meja, tepat di hadapan Ari.

Bocah itu tak langsung meminum susunya. Ia menatap Andi sejenak, tersenyum canggung, kemudian mengangguk. Setelah Andi membalasnya dengan anggukan, barulah Ari mengambil gelas susunya dan menenggak isinya sedikit demi sedikit.

"Omong-omong," Andi memecah keheningan, berinisiatif mengajak bocah penjual koran di sebelahnya berbincang-bincang, "kamu jualan koran setiap hari? Atau cuma hari Minggu aja?"

"Setiap hari." Ari menjawab, setelah meletakkan gelasnya yang kini tinggal terisi separuh.

"Terus sekolah kamu gimana?"

Ari menunduk, menggeleng pelan. "Saya enggak sekolah."

Andi refleks menggaruk tengkuk, merasa telah menanyakan sesuatu yang salah. Ia lantas mencomot dua pisang goreng dari piring ceper, menawarkan yang satu pada Ari, namun bocah itu menolak.

Mosaik KehidupanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang