Pukul Rata

214 24 2
                                    

[Dibuat pada 6 Februari 2017]

Aku membuang napas lega. Untung rem cakram motorku masih berfungsi dengan baik. Tidak macet, seret, atau blong. Jadi, aku bisa mengerem tepat waktu sebelum tabrakan terjadi.

Dalam hati, aku menyumpahi remaja ugal-ugalan berseragam SMA yang nyaris membuat kami berdua celaka—lebih parah lagi, dampaknya bisa sampai pada kendaraan-kendaraan yang ada di belakangku.

Tadi, ketika aku tengah melaju dengan kecepatan normal, remaja laki-laki itu menyalip motorku dengan kecepatan tinggi; untuk kemudian berbelok tajam sambil mengurangi kecepatan, hingga berada tepat di depanku. Refleks, kutarik tuas rem di kedua setang motorku agar aku tidak menabraknya. Pengereman mendadak. Membuat mobil pick up di belakangku membunyikan klakson dengan nyaring dan panjang.

"Jangan ngawur, Mbak!" Sopir pick up itu berseru marah, menyalip motorku yang masih diam di tempat.

Jujur, aku ingin sekali membalasnya dengan bilang, "Bapak harusnya memarahi cowok tadi!" Tapi, aku tidak mengatakannya.

Mobil pick up itu melaju kencang setelah sopirnya memarahiku. Sadar telah berhenti terlalu lama, aku kembali melajukan motorku. Dalam perjalanan, aku memikirkan kembali ulah pemuda ugal-ugalan yang tadi nyaris kutabrak. Kalau dipikir-pikir, sekarang ini banyak murid SMA maupun SMP yang sudah mengendarai motor sendiri ke sekolah. Padahal, kebanyakan dari mereka belum memiliki SIM. Mungkin hanya segelintir murid SMA yang sudah berkendara dengan legal. Sisanya ... siapa yang tahu?

Ketika memasuki jalan kabupaten, yang frekuensi kendaraannya semakin banyak dan sering membuat kemacetan, aku berusaha mengenyahkan pikiran-pikiran tidak penting dari otakku. Jalan semakin ramai sehingga aku harus berkonsentrasi mengemudikan motor.

Mendekati lampu merah, barisan mobil mengular hingga kurang lebih tiga ratus meter. Memadati perempatan, jembatan, juga jalan aspal berlubang sepanjang lima puluh meter. Aku mengelap peluh dan melihat arloji di pergelangan tangan kiriku. Sudah jam setengah tujuh. Pantas jalanan semacet ini.

Agar tidak terlambat sampai di tempat kerja, aku mengandalkan skill menyelinapku. Kukendarai motorku melewati celah-celah sempit di antara mobil-mobil. Lurus, belok kanan, belok kiri sedikit. Yak, lurus lagi. Selip sana, selip sini. Hingga aku berhasil melihat lampu lalu lintas yang sedang menyala merah, kemudian berhenti dengan jarak tujuh meter dari perempatan.

"Astaga."

Dari sini, aku bisa melihat penyebab kemacetan. Perempatan di depanku penuh sesak. Kendaraan berjubel di sana dari empat arah sekaligus, saling membunyikan klakson, tidak mau kalah demi bisa melanjutkan perjalanan. Hal ini biasa terjadi, mengingat ada penyempitan jalan dari arah timur menuju barat. Sehingga, saat lampu kembali menyala merah, kendaraan-kendaraan yang semula melaju dari arah timur belum sepenuhnya masuk ke jalan di arah barat, masih memadati sentral perempatan. Sementara, kendaraan dari arah selatan sudah melaju, menimbulkan buntut panjang kemacetan.

Dalam hati, aku bersyukur tidak sedang berada di sana. Lebih baik menunggu kemacetan terurai di sini ketimbang mendapat tekanan besar di tengah perempatan. Bunyi-bunyi klakson tidak sabaran saling besahut-sahutan, membuat pekak telinga.

Tiba-tiba dari arah utara terdengar raungan sirene ambulans. Suaranya mengalahkan ingar-bingar klakson mobil di tengah perempatan.

"Ambulansnya enggak bisa lewat," gumamku. Mataku tak lepas dari pemandangan kemacetan yang tersuguh di hadapanku, sementara otakku mempertanyakan ke mana para polisi lalu lintas di saat genting seperti ini.

Dan, benar. Sirene ambulans itu terdengar semakin meraung-raung. Pun dengan klaksonnya yang kini dibunyikan oleh si Pengendara.

Kondisi jalanan semakin ruwet, dan tidak ada polisi di sini.

Kala aku memutuskan untuk merutuki para polisi yang biasanya-ada-di-sini-namun-sekarang-tidak-ada, aku melihat sesuatu yang ganjil. Seorang pemuda yang mengenakan seragam sekolah memasang standar motornya, lantas turun dari kendaraan sembari mencabut kuncinya. Tak peduli dengan tatapan heran pengendara lain di sekelilingnya, ia melangkah dengan mantap menuju tengah perempatan. Tiba di sana, ia mengeluarkan sebuah penggaris besi—mungkin yang panjangnya lima puluh senti—dan sebuah gulungan kertas panjang berwarna merah. Ia memegang penggaris di tangan kirinya, sementara gulungan kertas merah ia genggam dengan tangan kanannya.

Dengan kedua benda itu, ia memberi instruksi pada para pengendara yang menutupi jalan ambulans agar menyingkir.

Melihat aksinya, aku menelan ludah, tak mampu berkata-kata. Seolah ada godam yang baru saja menghantamku.

Taruhan. Semua pengendara di sini, dari empat arah sekaligus, tahu pasti betapa krusialnya sebuah ambulans yang sirenenya meraung-raung. Tahu pasti bahwa kami harus membuka jalan untuk situasi darurat semacam itu. Sayangnya, orang yang berani melakukan aksi nyata tidaklah banyak.

Kami semua pengecut.

Aku pengecut.

Seolah membawa energi positif yang besar, beberapa pemuda lain ikut turun dari motornya, mengikuti jejak si Bocah Berseragam Sekolah di tengah perempatan. Mereka bahu membahu mengurai kemacetan di sana agar ambulans, yang menanggung nyawa seseorang di dalamnya, bisa lewat dan meneruskan perjalanannya ke rumah sakit.

Persis di saat yang sama, hati nuraniku bilang bahwa aku tidak boleh tinggal diam. Namun, aku tak kunjung turun dari motor dan menyusul pemuda-pemuda di depan sana. Sibuk dengan gengsiku sebagai perempuan dan berbagai macam hal yang berkecamuk di pikiranku.

Kalau dipikir-pikir lagi, tidak semua murid sekolah yang belum memiliki SIM berkendara dengan ugal-ugalan ataupun tidak memikirkan keselamatan orang lain. Mungkin ada, tapi tidak semua. Remaja-remaja di sentral perempatan sana, yang berusaha menggantikan peran polisi lalu lintas, jelas merupakan orang-orang berhati mulia yang—boleh jadi—selalu menaati peraturan lalu lintas.

Aku salah.

Harusnya aku tidak boleh memukul rata para remaja yang sudah mengendarai motor ke mana-mana.

* * *


p.s.

didedikasikan untuk mas-mas berhati mulia, yang rela meninggalkan motornya untuk membantu mengurai kemacetan di simpang demak ijo saat tidak ada polisi di sana.

Mosaik KehidupanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang