Anakku

196 19 4
                                    

[Dibuat pada 22 Mei 2017]


"Papa ... Mama ... kasihmu abadi. Papa ... Mama ... aku mencintaimu, selalu."

Bocah perempuan itu membungkuk pada penonton ketika nyanyiannya selesai. Ruangan studio kini dipenuhi gemuruh tepuk tangan, bentuk apresiasi positif bagi lagu yang dinyanyikan dengan apik oleh si Bocah Perempuan. Salah satu juri dari ketiga juri yang duduk di baris terdepan bahkan memberinya standing applause.

"Hai, Sasti!" Pembawa acara memasuki panggung, disorot oleh lampu spot light, sebelum akhirnya cahaya membaur hingga menyentuh seluruh sudut panggung. Ia memosisikan diri di sebelah Sasti, lalu merangkul bahu gadis kecil tersebut dengan kaki sedikit ditekuk. "Lagu yang kamu nyanyikan tadi keren banget, sih. Kamu bikin sendiri?"

Sasti mengangguk. "Dibantu kakak Sasti pas bikin nadanya," jawabnya, "dia yang ngiringin lagu Sasti tadi." Ia menunjuk seorang remaja laki-laki yang duduk di balik piano. Kakaknya.

Pembawa acara mengangguk-angguk paham. "Sasti dapat ide lagu itu dari mama dan papa Sasti, ya? Mereka nonton enggak malam ini?"

Gadis kecil itu tak kunjung menjawab. Sibuk memilin-milin ujung rok dengan satu tangannya yang bebas.

"Tunjukkin dong, Sasti. Penonton pasti pengin tahu, nih, orang tua dari gadis hebat dan lucu kayak Sasti ini." Pembawa acara itu mengalihkan pandangannya pada para penonton, lalu bertanya, "Iya, kan, Penonton?"

Senyum Sasti perlahan pudar.

Kalau boleh jujur, ia sungguh ingin melihat kedua orang tuanya hadir. Menontonnya di baris-baris depan sambil membawa poster berisikan foto dan namanya. Mendengarkan lantunan lagu yang Sasti bikin untuk mereka.

Lantas, kedua orang tuanya akan merentangkan tangan kala Sasti menghambur ke pelukan mereka. Ibunya akan membelai kepalanya dengan lembut, dan ayahnya akan mengelus-elus punggungnya dengan gurat bangga di wajahnya yang tidak bisa ia sembunyikan.

"Sasti? Kok bengong?"

Seketika, Sasti tersadar bahwa dirinya masih berada di atas panggung.

"Eumm ... itu, Kak Ruben." Sasti kembali mendekatkan microphone ke mulutnya. "Orang tua Sasti enggak datang malam ini."

* * *

"Kamu kok belum makan?" tanya Raka dari ambang pintu.

"Sasti lagi sibuk, Kak."

"Sibuk ngapain, sampai lupa makan begitu?"

"Bikin mahakarya, Kak."

Penasaran, Raka memutuskan untuk masuk ke dalam kamar Sasti—dan beberapa gadis lain seusianya. "Itu puisi?"

"Sebenarnya Sasti pengin bikin lagu, sih, Kak. Cuma Sasti enggak bisa nentuin nadanya," jawab Sasti disertai cengiran.

"Coba, sini lihat." Raka mengambil kertas berisi tulisan Sasti dari tangan gadis kecil itu. Matanya menyapu deretan huruf yang tergurat di sana sambil membacanya dalam hati.

Papa, Mama, engkau sungguh hebat

Engkau selalu menyayangi aku

Tanpa lelah, ikhlas, dan tabah

Kau terus membimbingku, selalu

"Lagu buat orang tua kamu?"

Sasti mengangguk-angguk dengan semangat. "Gimana menurut Kakak? Bagus enggak? Sasti udah bikin dari tadi siang, pas di sekolah. Tapi Sasti ganti-ganti terus kata-katanya karena kedengarannya aneh."

Mosaik KehidupanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang