Lakuna

199 18 2
                                    

[Dibuat pada 20 April 2018]

"Setiap manusia itu pulang, saya selalu merapatkan tubuh di balik pintu kamar sambil memeluk lutut."

"Kamu mendengar semuanya dari sana?"

"Benar, Mbak. Pada akhirnya, saya akan menangis hingga terlelap, atau tetap terjaga hingga dia masuk ke kamar dan menemukan saya menguping pembicaraan."

"Apa yang dilakukannya setelah masuk kamar dan memukanmu?"

Aku merasakan air menggenang di pelupuk mataku dan semuanya kini terlihat buram.

* * *

Teman-temanku di taman kanak-kanak bilang bahwa aku memiliki ayah terbaik sedunia.

Di saat teman-temanku berangkat ke sekolah dengan berjalan kaki, bersepeda, atau mungkin diantar oleh orang lain yang bukan orang tuanya, Ayah selalu menyempatkan diri mengantarku ke sekolah pagi-pagi. Meski jarak rumah kami ke sekolah sebenarnya bisa ditempuh dengan berjalan kaki, Ayah tidak pernah membiarkanku ke sekolah sendirian.

Ayah kerap membawa vespa biru kesayangannya untuk mengantarku. Namun, jika kebetulan Ayah berangkat kerja di siang hari, ia akan berjalan bersamaku hingga tiba di sekolah.

Aku paling suka jika Ayah mengantarku dengan berjalan kaki. Karena, ketika ada kucing jalanan yang mengeong-ngeong kelaparan, Ayah akan memberinya makanan yang sudah disiapkannya dari rumah. Ia sudah melakukannya sejak dulu. Mungkin dia memang sudah tahu jika jalan dari rumah ke sekolahku dipenuhi kucing-kucing jalanan yang tubuhnya kurus dan terlihat menyedihkan.

Saat aku menanyakan alasannya, Ayah selalu bilang, "Kita hidup di dunia ini berdampingan dengan makhluk hidup lain, Tan. Bukan hanya manusia yang tinggal di bumi. Berbuat baik pada sesama manusia itu memang suatu keharusan, tapi kita tidak boleh lupa bahwa masih ada makhluk hidup lain yang tinggal bersama-sama dengan kita di sini."

Itulah ayahku, pria baik hati yang selalu mengajarkan nilai-nilai kebaikan.

Tentang bagaimana memberi bantuan dengan tulus dan ikhlas, bagaimana menyikapi orang yang tidak sependapat dengan kita, dan bagaimana cara menghargai orang lain tanpa memandang siapa dia dan apa latar belakangnya.

Maka, tak heran ketika duduk di bangku SD, aku menceritakan ayahku sebagai sosok yang paling kuidolakan.

* * *

"Bagaimana keadaan ibumu sekarang?"

"Ibu saya baik." Aku menghela napas sesaat sebelum meralat ucapanku, "Maksud saya, tidak. Tidak baik. Ibu saya seperti memenjarakan dirinya sendiri dalam pusaran hitam yang tak ada ujungnya."

"Beliau tinggal bersamamu sekarang?"

"Iya, Mbak. Ibu tinggal sama saya."

"Apakah ibumu kerap mengajakmu bicara?"

Aku menggigit pipi bagian dalamku, lalu menggeleng pelan. "Ibu tidak pernah bicara pada siapa-siapa lagi, Mbak. Kondisi fisiknya mungkin memang masih bagus, tapi saya tahu ada sesuatu di dalam sana yang sampai saat ini belum bisa disembuhkan ...."

* * *

Keharmonisan keluargaku membuatku menjadikannya sebagai patokan "keluarga ideal" jika aku membangun rumah tangga saat besar nanti. Aku harus jadi wanita seperti Ibu; penyayang, lemah-lembut, tapi tetap tidak bisa disebut sebagai wanita lemah. Kemudian, suamiku nanti harus bisa menjadi seperti Ayah; baik, peduli terhadap sekitar, pekerja keras, tapi tetap tidak lupa bahwa masih ada istri dan anaknya di rumah.

Semuanya berjalan sebagaimana mestinya sampai malam terburuk sepanjang hidupku itu terjadi.

Hari itu, Ayah tak kunjung pulang. Jam sudah menunjukkan pukul tujuh malam, tapi Ayah bahkan tidak mengabariku dan Ibu. Sejam setelahnya, aku mendengar ketukan pintu dari luar. Segera aku memelesat demi membukakannya.

Mosaik KehidupanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang