Pak Bambang

235 18 5
                                    

[Dibuat pada 27 Juli 2018]

Nama saya Herlambang. Memang hanya Herlambang, tapi murid-murid saya memanggil saya Pak Bambang. Tidak pernah yang lain. Tidak masalah juga. Toh, saya senang dipanggil Bambang. Rasanya saya seperti tinggal di dua dunia yang berbeda.

Di sekolah, saya ini Bambang.

Di luar sekolah, saya kembali jadi Herlambang. Walau sebetulnya, tetap saja ada yang memanggil, "Pak Bambang!" kala bertemu saya di luar lingkungan sekolah.

Biasanya, sih, yang melanggar aturan pemanggilan nama itu murid saya yang sudah lulus. Sudah jadi orang. Sudah sukses.

Biasanya juga, saya akan menyambut uluran tangannya, bersalaman, sambil mengingat-ingat siapa nama murid saya itu.

Duh, saya ini sudah jadi guru sejak lulus SPG[1], masih dua puluhan. Masih bujang. Masih ganteng, rambutnya klimis. Sementara umur saya sekarang sudah mau enam puluh. Sebentar lagi pensiun. Rambut saya sudah nyaris putih semua, sudah tidak ganteng lagi karena keriput di mana-mana.

Hitung saja berapa tahun saya jadi guru. Hitung pula berapa murid yang sudah saya ajar selama ini.

Nah, banyak, kan? Membayangkannya betapa banyaknya saja pusing, kan?

Makanya. Saya juga pusing, apalagi disuruh mengingat siapa saja murid-murid saya yang sekarang sudah pada sukses.

Jadi, kalau ada murid saya yang menyapa saya di luar lingkungan sekolah, saya cuma senyum saat ditanya, "Bapak ingat saya, enggak?"

Namun, kadang saya bohong. Biar murid saya tidak tersinggung, saya jawab saja, "Walah, ya ingat! Saya, kan, dulu pernah mengajar kelas kamu."

Padahal, kenyataannya memang saya mengajar seluruh kelas sepuluh di sekolah tempat saya bekerja. Hehehe. Jadi tidak ada yang tidak pernah diajar oleh saya. Hehehe.

Terlepas dari usia saya yang sudah semakin uzur, ada beberapa nama murid saya yang masih melekat sampai saat ini. Salah satunya, sebut saja Baskoro. Saya lupa nama lengkapnya, tapi saya ingat nama dia Baskoro, karena saya sering menyebut namanya saat memarahi anak badung satu itu.

"Bas ... Bas ... kok, ya, kamu itu nggak tobat-tobat. Nek mau ngudud mbok jangan di kelas, apalagi pas pelajaran saya. Saya nggak peduli sama paru-paru kamu, tapi saya peduli sama kenyamanan kelas ini. Sekarang, keluar! Dadi murid kok kakehan polah![2]"

Itu baru Baskoro. Lulus lima tahun lalu dan hobi merokok--saya tidak mempermasalahkan hobi merokoknya, tapi saya tidak suka hobi merokoknya yang kerap ia lakukan di kelas.

Benar. Di kelas.

Namun, lagi-lagi, itu baru Baskoro. Kenakalannya masih sebatas mengisap batang rokok di tempat yang tidak seharusnya.

Ada lagi salah satu murid yang saya ingat betul sampai saat ini. Badannya besar, kekar, tinggi. Rambutnya jigrak. Kalau hari Senin, kadang pucuk-pucuk rambutnya tiba-tiba jadi merah. Katanya, hari Sabtu dia semiran.

"Nanti juga saya potong, Pak, kalau udah panjang lagi," katanya, ngeles setiap dimarahi guru BK sebelum upacara.

Kalau saya yang memergoki dia, bukan jawaban seperti itu yang saya dapat, melainkan, "Halah, wong ketutupan topi, Pak. Nggak akan kelihatan."

Itu tadi Tole si Rambut Geni[3]. Nama aslinya Janadi Wijono. Mbuh, kok bisa jadi Tole dari mana asalnya.

Selain suka menyemir rambut dengan warna merah mencolok, Tole juga suka bawa barang aneh-aneh ke sekolah. Setiap hari, tasnya selalu berat. Namun, bukan gara-gara buku dan perlengkapan sekolah lainnya.

Mosaik KehidupanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang