Serpih Jiwa yang Hilang

232 24 0
                                    

[Dibuat pada 16 Februari 2017]

Lazimnya, Dhira menggunakan sore senggangnya dengan minum secangkir teh chammomile dan mendengarkan musik klasik dari gramofon yang belum lama ia beli di suatu toko barang antik. Atau, jika Rino—pasangan menari tangonya—sedang tidak sibuk, mereka akan berjalan-jalan bersama guna mempererat hubungan. Hubungan interpersonal antara penari perempuan dan laki-laki lebih ditekankan dalam tarian tango. Meski bukan pasangan betulan, mereka tetap menyempatkan diri untuk saling memahami karakter masing-masing.

Dhira menopang dagu dengan kedua tangan, tampak menyimak video yang kini diputar di laptopnya dengan serius. Ia awalnya tidak berniat menonton video tersebut. Namun, karena video itu muncul di daftar rekomendasi dan telah ditonton puluhan ribu orang, Dhira menjadi penasaran.

Begitu membuka video tersebut, Dhira disuguhi sebuah pertunjukan gamelan yang digelar di Gedung Agung saat jamuan makan malam, guna menyambut tamu kenegaraan. Semenit berlalu, kamerawan yang merekam pertunjukan tersebut mengarahkan kameranya pada para pemain gamelan.

"Lho?" Dhira membulatkan mata ketika melihat sosok yang familier baginya. Di sana, di belakang saron demung, duduk seorang laki-laki yang dengan lihainya memukul bilah-bilah logam. "Adrian?"

Dhira tidak mungkin lupa wajah itu. Gurat wajah yang selalu riang ia sapa belasan tahun lalu. Garis senyum yang selalu terbentuk kala laki-laki itu bersua dengan Dhira.

Lima menit selanjutnya berlalu tanpa terasa. Ketika permainan usai, Dhira menatap layar laptopnya yang kini menampilkan warna hitam dan tombol replay di tengahnya.

"Aku harus cari tahu," gumam Dhira. Video berdurasi enam menit sekian detik tadi belum bisa memuaskan rasa ingin tahunya. Maka, setelah berpikir untuk beberapa saat, Dhira membuka mesin pencarian dan mengetikkan nama lengkap Adrian sebagai kata kuncinya.

Beberapa artikel muncul. Judul yang sama. Bahasan yang mirip. Gaya penulisan yang berbeda. Dhira membuka semua artikel yang memuat nama sahabat semasa remajanya itu di halaman baru, menunggu semua isinya termuat.

Artikel pertama; dimulai dengan membahas kunjungan tamu negara ke Gedung Agung, dilanjutkan dengan penggambaran suasana jamuan makan malam yang diiringi pertunjukan gamelan, lalu membahas Adrian; seorang tunarungu yang piawai memukul bilah-bilah saron demung—saron berbilah besar dan bernada rendah.

Dhira tersenyum kecil. Ia tiba-tiba ingat Adrian. Laki-laki itu pernah mengaku bahwa ia lebih suka disebut tuli dibanding tunarungu. Bagi Adrian, istilah tunarungu membuatnya seolah terjebak dalam ketidakberdayaan, padahal sebenarnya ada banyak hal yang bisa ia lakukan—terlepas dari keterbatasan pendengarannya.

"Pasti Adrian sebal kalau dia membaca artikel ini." Dhira terkekeh pelan.

Artikel kedua; berisi hasil wawancara si Penulis Artikel dengan Adrian; ketertarikannya dengan seni musik gamelan, kepiawaiannya bermain saron demung, dan lain sebagainya.

Dhira tidak membaca keseluruhan artikel-artikel lain karena rata-rata berisi sama dengan dua artikel sebelumnya. Merasa puas, Dhira memutuskan untuk mematikan laptop dan tenggelam dalam keheningan.

Ia tidak menyalakan gramofon. Padahal, alunan musik klasik yang keluar dari alat berpiringan hitam itu selalu mampu membuat otaknya rileks. Yang ia inginkan sekarang hanyalah keheningan, sehingga ia bisa menelaah hatinya dan menemukan sesuatu yang sudah lama hilang dari sana.

Tiba-tiba, air mata Dhira meleleh. Bukan karena permainan Adrian tadi. Bukan juga karena nama Adrian kini menjadi viral di dunia maya. Ada hal lain yang lebih menohok hatinya, membuatnya seperti ditimpa godam raksasa.

Mosaik KehidupanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang