[Dibuat pada 25 Oktober 2014]
"Saya mau jadi pemain Timnas, Bu!"
Sontak seisi kelas tertawa mendengar jawaban Rika. Teman perempuanku yang satu itu memang selalu di luar dugaan. Siapa sangka ia benar-benar ingin menjadi pemain Timnas suatu saat nanti?
Saat ini sedang jam pelajaran Bahasa Indonesia. Ibu Melati selaku guru mata pelajaran tersebut menjelaskan arti pentingnya memiliki cita-cita pada kami. Setelah penjelasan beliau selesai, Ibu Melati bertanya pada semua murid di kelas tentang cita-cita kami. Nah, yang tadi itu giliran Rika yang menjawab.
"Ibu hargai cita-cita kamu. Tapi Rika, kan, anak perempuan. Anak cantik! Mana boleh jadi pemain Timnas?" suara Ibu Melati menengahi hingar-bingar kelasku.
"Nah, betul itu! Anak perempuan nggak boleh main bola. Kerjaannya, kan, hanya mengurus rumah!" ejek murid paling badung di kelasku, Doris.
"Doris jenius! Doris jenius!" sorak teman-teman akrab Doris. Mereka memukul-mukul meja dengan gaduh, pengganti iring-iringan musik untuk Si Badung Doris.
Aku melirik Rika. Wajahnya memerah menahan amarah. Aku kenal Rika, dia tetanggaku satu kampung. Rumahnya hanya berjarak tiga rumah dari rumahku. Dan aku juga tahu kalau Rika sangat mencintai sepak bola. Ia selalu ikut saat aku dan kawan-kawan lelaki satu kampung bermain sepak bola setiap sore. Si Badung Doris juga ikut, tapi ia lebih sering kalah dari Rika saat berlaga di tengah lapangan hijau, makanya mereka seperti musuh bebuyutan. Entah itu di lingkungan rumah atau sekolah.
Untuk dibilang nakal, sebenarnya Rika anak baik. Untuk dibilang bandel, Rika juga tidak bandel. Ia hanya sedikit tomboi, sedikit lebih cuek menjalani hari-harinya ketimbang anak perempuan lain. Rika tidak suka bermain boneka bersama anak-anak perempuan di kampung kami. Ia lebih sering menghabiskan waktu bersamaku dan anak lelaki satu kampung. Bermain sepak bola misalnya, juga bermain petak umpet, menerbangkan layang-layang, atau sekadar berkejaran satu sama lain.
Di luar semua kebiasaan Rika, ia tetaplah perempuan. Mustahil baginya untuk menjadi pemain Timnas. Tapi saat ini, kami bahkan masih duduk di bangku kelas 5 SD, jadi itu cita-cita yang wajar-wajar saja. Terlebih kemampuan Rika bermain bola di atas rata-rata anak lelaki di kampungku. Itu sudah menjadi bakat alami yang dimilikinya. Kemampuan bermain sepak bola yang dimilikinya bukan muncul karena kebiasaannya bermain permainan yang satu itu, melainkan kemampuan itu muncul karena bakat yang sudah mengalir dalam darahnya sejak dulu.
"Enak saja! Siapa bilang perempuan cuma boleh duduk manis di rumah?" Rika membentak galak. Wajahnya berapi-api. "Akan kubuktikan kalau perempuan juga bisa main bola!"
Doris berdiri dan berkacak pinggang. "Baik, kita buktikan. Kamu bawa tim yang berisi anak perempuan berjumlah sebelas orang, lalu sepulang sekolah, kita bertanding di lapangan sekolah! Bagaimana?"
Anak perempuan lain di kelasku ikut berdiri, terprovokasi oleh suasana yang semakin memanas. Ibu Melati sampai tak sanggup melerai kami.
"SETUJU! SIAPA TAKUT?!"
* * *
Sesuai perjanjian, kami berkumpul di lapangan sepulang sekolah. Rika membawa sepuluh teman perempuannya untuk ikut bermain, sementara Doris mengajak sepuluh anak lelaki di kelas, termasuk aku. Meskipun Doris mengajakku karena kami satu tim sepak bola saat di kampung. Mungkin ia tidak enak jika tidak mengajakku ikut serta.
"Kau payah, Rika! Mana bisa timmu menang? Badannya saja kecil-kecil begitu, tidak akan kuat melawan kami bersebelas!" Doris tertawa mengejek. "Pertunjukannya pasti akan hebat! Bagaimana seorang Rika, striker tangguh kebanggaan kampung kami, ditumbangkan oleh seseorang sepertiku!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Mosaik Kehidupan
Короткий рассказKetika semua kepingan disatukan dalam satu momen, membentuk sebuah mosaik bernama kehidupan, apakah itu kabar bagus? Atau justru buruk? * * * * * [Berisi kumpulan cerpen, baik yang baru-baru ini dibuat atau yang sudah lama mendekam di laptop. Silaka...