[Dibuat pada 28 Oktober 2015]
Kalian tahu burung yang terkenal di Danau Kelimutu? Ya, burung arwah. Sosoknya seringkali tak tampak, namun nyanyiannya selalu terdengar. Aku pernah melihatnya, tentu saja hanya foto, bukan bentuk nyatanya. Tapi aku malah miris sendiri begitu mengetahui gadis yang menjulukiku seperti burung arwah, belum pernah melihat burung itu sama sekali, nyata maupun fotonya. Jangankan melihat burung arwah, rupaku seperti apa pun boleh jadi dia tidak ingat-dan memang wajahku tidak akan bisa dilihatnya lagi.
"Katanya kamu bawa hadiah?" Farah bertanya, lebih seperti menagih.
Aku nyengir, meskipun aku tahu itu tidak ada gunanya. "Ada, kok! Sebentar, aku ambil dulu."
Aku mengaduk-aduk isi ranselku, kemudian mengeluarkan sebuah kincir mainan yang berderak-derak ketika tertiup angin. Benda sederhana, mainan anak kecil, kubeli sewaktu menghadiri bazaar murid SD di dekat tempat tinggalku tadi siang.
"Aku dengar bunyinya! Sepertinya aku tahu benda apa itu!" sorak Farah senang.
Melihat senyum yang terlukis di wajah gadis di hadapanku, aku ikut tersenyum. "Coba tebak benda apa yang kubawa."
"Pasti kitiran!"
Aku tak menyahutinya. Kini aku malah berjalan ke tepi balkon dan menali gagang kincir mainan warna-warni tersebut di sudut balkon kesukaan Farah, masih dengan senyum merekah di wajahku.
"Rian? Kamu masih di sini, kan?"
"Sini, ikut aku." Kuraih sebelah tangan Farah, mengajaknya ke sudut balkon tempatku memasang kincir warna-warni tadi. "Kamu bisa dengar?"
Farah mengangguk antusias. "Jelas sekali, An!"
"Nah, mulai hari ini," kataku, sembari meletakkan kedua tangannya di bahu Farah, "setiap kamu ke balkon, dengarlah suara kitiran itu selagi angin membuatnya berputar. Selama kamu masih bisa mendengar suara benda itu-sekalipun aku enggak ada di sini-kamu boleh berharap bahwa aku akan kembali menemuimu lagi."
Untuk kali ketiganya, aku berusaha tersenyum di depan Farah, walau aku sebenarnya menyembunyikan getir di balik suaraku. Bukan apa-apa, tapi meluangkan sebagian besar waktu produktifku selama setahun demi gadis ini telah membuatku kehilangan banyak hal, ketinggalan banyak momen berharga di kehidupanku sendiri. Dan aku takut kalau suatu saat nanti, aku tidak akan bisa selalu ada di sisinya.
"Memangnya kamu mau pergi?"
Pertanyaannya membuatku terhenyak. Kualihkan pembicaraan dengan membuka tas biolaku dengan cepat, lantas sesegera mungkin menggesek senarnya dan melahirkan alunan lagu yang indah. "Lagu untuk hari ini," ujarku di sela-sela permainan.
* * *
Kalau kehidupan seperti roda yang berputar, Farah mengalami masa terinjak-injaknya di roda bagian bawah setahun yang lalu, saat sejuta laksa cahaya direnggut darinya. Orang dinyatakan bisa melihat karena benda-benda di sekitarnya memantulkan cahaya yang tertangkap oleh matanya, namun kini indera penglihatan Farah bahkan tak mampu lagi menerima cahaya. Kegelapan seolah menjemputnya. Tak hanya penglihatan, kegelapan bahkan sepertinya sempat memasuki relung-relung hatinya.
Singkatnya, Farah patah arang.
Gadis itu tak hanya menyayangkan hidupnya yang mendadak tanpa cahaya, ia juga merasa dirinya tak berguna. Buat anak sebatang kara seperti dia, harusnya mendapat orangtua angkat akan membuatnya mengenal bentuk kasih sayang yang nyata, di sisi lain membuatnya mengenal cara berterima kasih pada kedua orangtuanya. Namun kenyataannya, Farah merasa dirinya malah memerburuk keadaan dan menyusahkan dua orang yang amat disayanginya itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mosaik Kehidupan
Historia CortaKetika semua kepingan disatukan dalam satu momen, membentuk sebuah mosaik bernama kehidupan, apakah itu kabar bagus? Atau justru buruk? * * * * * [Berisi kumpulan cerpen, baik yang baru-baru ini dibuat atau yang sudah lama mendekam di laptop. Silaka...