[Dibuat pada 23 Agustus 2017]
Saran-saran ibuku kelewat ngawur. Mungkin tidak semuanya, tapi kini aku berniat untuk tidak menurutinya lagi. Aku sudah capek.
Tadi siang, aku ikut main basket di lapangan sekolah. Kupikir aku akan dapat tatapan meremehkan dari anak-anak yang selalu unjuk kemampuan di lapangan basket--karena mereka semua populer, sedangkan aku tidak. Namun, yang terjadi justru sebaliknya.
Riko, kapten tim basket putra sekolahku, bahkan dengan senang hati mengajakku bergabung dengan timnya. Aku, sih, terima-terima saja. Kapan lagi aku bisa satu tim dengan bintang-bintang lapangan seperti mereka?
Permainan berlangsung sebagaimana mestinya. Tim lawan, yang juga terdiri dari cowok-cowok populer di sekolah (dan jago basket! Ugh, aku iri sekali) bermain sportif.
Aku tidak dipermalukan.
Aku tidak dicemooh.
Aku tidak jadi bulan-bulanan di tengah lapangan.
Rasa-rasanya, selama ini aku terlalu banyak berpikiran negatif. Kupikir semua prince charming di sekolah itu jahat. Kupikir semua cowok-cowok populer bertampang rupawan itu suka menindas cowok-cowok sepertiku.
Enggak, bukan.
Aku enggak cupu.
Aku cuma gendut. Dan pendek. Dan enggak bisa dibilang ganteng.
Yah, walaupun aku sering menyugesti diriku dengan bilang, "Tom ganteng!" di depan cermin kamarku setiap hendak berangkat sekolah, wajahku tetap enggak berubah.
Tapi, standar kegantengan bagi para gadis berbeda jauh dengan versiku. Mungkin karena rupaku, ditambah dengan parasku yang bagi mereka enggak ideal, aku belum punya pacar sampai sekarang.
Mungkin juga, karena ada aku di lapangan basket siang tadi, cewek-cewek yang menonton dua kali lipat dari biasanya.
Bukan dalam arti bagus, sesungguhnya.
"Eh, ada karung goni main basket!"
"Merusak pemandangan banget, sih! Ngapain coba dia ikut main?"
"Peraturan basket sekarang berubah, ya? Kok bolanya ada dua, sih? Hahaha."
"Hahaha!"
Riko berusaha menyemangati dengan menepuk pundakku seraya tersenyum, tapi itu tidak mengubah kekesalanku menjadi kebahagiaan.
Bukan kesal pada cewek-cewek menyebalkan itu, tapi pada ibuku.
Iya, Ibu.
Semua ini salah Ibu.
Teman-teman cewekku mencemoohku karena Ibu.
Maka, sepulang sekolah, aku langsung masuk kamar. Sengaja tak menghiraukan panggilan Ibu dari ruang makan.
"Tom! Sini makan dulu!"
Makan.
Belakangan kata itu menjadi sangat sensitif bagiku. Aku sudah muak. Setiap berada di rumah, yang Ibu lakukan hanyalah meneriakiku untuk makan. Entah makan siang, makan siang sedikit telat, makan sore, sampai makan malam nanti.
Sejak dulu, Ibu selalu begitu. Jika aku sudah menghabiskan makananku, maka Ibu akan menambah porsi nasi dan lauk di piring tanpa meminta persetujuanku.
Katanya, "Kamu harus makan banyak biar badanmu besar, Tom!"
Ketika ukuran badanku sudah melebihi anak-anak seusiaku, ia mengatakan, "Kamu harus makan lebih banyak supaya tinggi, Tom!"

KAMU SEDANG MEMBACA
Mosaik Kehidupan
Cerita PendekKetika semua kepingan disatukan dalam satu momen, membentuk sebuah mosaik bernama kehidupan, apakah itu kabar bagus? Atau justru buruk? * * * * * [Berisi kumpulan cerpen, baik yang baru-baru ini dibuat atau yang sudah lama mendekam di laptop. Silaka...