Lembar Delusif

120 9 0
                                    

[Dibuat pada 10 April 2018]

Ayah rindu, Nak.

Tadi malam, ibumu asyik sekali mendongengi Ayah soal liburan terakhir kalian ke Pantai Baron. Katanya, kamu lincah sekali. Berlarian ke sana-kemari. Ibumu sampai kewalahan. Namun, setidaknya dia senang. Buktinya sampai saat ini, ibumu masih mengenang hari itu sebagai liburan terindah kalian.

Duh, Ayah jadi iri.

Sendainya Ayah ada di sana saat itu, ya, Nak. Pasti sangat menyenangkan! Kita bertiga plesir, meninggalkan setumpuk pekerjaan Ayah di kantor demi melihatmu berlari-lari di sepanjang pantai. Meninggalkan jejak berupa sepasang kaki mungilmu di atas butir-butir pasir.

Sonya, Ayah rindu.

Kamu tahu tidak, Nak? Di hari plesirmu dengan Ibu, Ayah sempat mampir ke salah satu toko buku besar di ibu kota sana. Membelikanmu hadiah, seperti yang kamu inginkan selama ini. Ayah ingat betul kamu kerap merajuk beberapa malam terakhir, protes karena dongeng yang Ayah bacakan itu-itu saja. Maka, pada hari itu Ayah belikan Sonya buku cerita baru.

Ayah belikan, Nak. Ayah pilihkan sesuai keinginanmu. Lihatlah sendiri di kamar.

Ayah tidak bohong, kan?

Oh, iya. Kemarin, Ibu terlelap di pelukan Ayah setelah puas bercerita. Tidak, belum. Sebenarnya, cerita ibumu belum selesai. Belum sampai pada ujungnya. Ayah yang memaksa menyudahi cerita itu. Memeluk ibumu seerat yang Ayah bisa, sebelum kristal bening itu merebak di kedua pelupuk matanya.

Sonya tahu, kan, kalau Ayah paling tidak tahan melihat Ibu sedih

Namun, belakangan ibumu jadi pemurung, Nak. Ayah sudah mencoba berbagai cara agar Ibu bisa tersenyum selepas dulu, tetapi sulit sekali.

Faktanya, Ibu hanya bisa tersenyum saat bercerita tentangmu, Nak.

Tentang momen-momen yang dilalui kalian berdua di rumah saat Ayah bekerja, atau keseruan kalian saat berbelanja ke supermarket—katanya kamu masih suka merengek minta duduk di dalam troli, ya, Nak?

Lalu, ibumu akan senang melihat ekspresi menyesal di wajah Ayah karena tidak bisa menghabiskan waktu denganmu sebanyak dia. Melihat Ayah yang menyesal karena tak bisa terus memantau pertumbuhan dan perkembanganmu setiap waktu.

Sebetulnya, Ayah tidak begitu masalah dengan semua cerita itu, sepanjang ibumu senang. Yang tidak Ayah suka adalah lonjakan emosi ibumu setelah ia menuturkan cerita-cerita itu, Nak. Ibumu bisa tiba-tiba diam termenung setelah asyik bercerita—kadang malah sebelum ceritanya selesai. Seperti patung lilin yang mungkin akan terasa dingin ketika disentuh.

Sonya punya ide supaya Ibu tidak pemurung lagi?

Ayah, sih, selama ini selalu mendekapnya. Bahkan ketika ceritanya belum selesai. Hanya untuk mengantisipasi jika ibumu tiba-tiba menangis lagi. Karena, sejujurnya, Ayah tidak mau kejadian minggu lalu terulang lagi, Nak ....

* * *

Minggu lalu—tanggal lima, bulan sebelas—ibumu bangun pagi-pagi sekali. Sudah merapikan bantalnya sebelum matahari terbit, lalu dengan tergesa menuju ke dapur. Sibuk membuka-buka lemari bahan makanan, sementara Ayah memerhatikannya dari ambang pintu.

Meski bingung, Ayah memberanikan diri bertanya, “Kamu cari apa, Sayang?”

Ibumu menoleh sesaat, lalu tangannya sibuk mengobrak-abrik isi lemari lagi. Katanya dengan penuh semangat, “Hari ini, kan, Sonya ulang tahun. Aku mau bikin kue, Mas.”

Jujur, Nak, Ayah tidak tahu harus melakukan apa setelah mendengar jawaban ibumu.

Apalagi setelah ibumu menambahkan, “Sonya kemarin minta dibuatkan cheesecake pas ulang tahunnya yang keempat. Duh, tapi kok bahannya nggak ada, ya, Mas.”

Ayah masih diam dan mengamati ibumu, Nak. Tak berani bicara barang sepatah kata pun.

“Mas.”

Barulah saat ibumu memanggul, Ayah memberanikan diri menatap kedua matanya.

“Sonya masih tidur, ya?”

Saat itu, yang terlintas di pikiran Ayah adalah menawarkan diri untuk mengecek, Nak. Ibumu mengiyakan, maka Ayah lantasmenuju ke kamarmu.

Kamarmu yang bernuansa merah muda, warna kesukaanmu. Kamarmu yang diam-diam sering Ayah kunjungi di malam hari, lantas tepekur duduk di ranjangnya sendirian.

Iya, Nak, sendirian.

Pagi itu, kamu tidak ada di kamar. Ayah tahu itu. Kamu bukannya masih tidur seperti yang dikatakan ibumu.

Kamu memang sudah tidur.

Nyenyak.

Nyenyak sekali.

Hingga tidak bisa dibangunkan oleh siapa pun.

Sebulan berlalu, tetapi ibumu masih belum bisa menerimanya, Nak. Yang melekat di ingatan ibumu hanya indahnya liburan kalian di Pantai Baron kala itu. Ibumu tidak ingat apa yang terjadi setelahnya—atau mungkin, berusaha menghapus bagian tragis itu.

Saat kamu tiba-tiba lepas dari pengawasannya. Saat kamu tiba-tiba berlari menuju ke arah sungai kecil yang tersambung langsung ke laut. Saat tiba-tiba semua orang berteriak panik, meminta bantuan pada tim SAR yang sedang bertugas, sementara ibumu bingung mencari keberadaanmu yang lenyap dari sisinya.

Hari berikutnya, berita kehilanganmu diliput oleh berbagai koran. Beberapa stasiun televisi swasta juga ikut mengangkat berita tersebut ke layar kaca. Wartawan-wartawan itu mendatangi ibumu, menanyainya macam-macam, membuatnya semakin larut dalam penyesalan. Nafsu makannya hilang nyaris seminggu lamanya. Bahkan, saat jasadmu akhirnya ditemukan dan prosesi pemakaman dilakukan, ibumu tak mau hadir. Ia mengurung diri di kamar, menunggu semua keramaian berangsur-angsur lenyap, lalu diam-diam pergi ke kuburanmu sendirian.

Kamu tahu seberapa besar penyesalan Ayah, Nak?

Andai Ayah ada di sana hari itu.
Andai Ayah menolak ikut kunjungan ke luar kota di hari libur itu. Andai Ayah melarang kalian berdua berlibur tanpa keikutsertaan Ayah.

Namun, semuanya sudah berlalu, Nak. Telanjur seperti itu.

Seperti di pagi ulang tahun keempatmu, kala Ibu tiba-tiba menyusul Ayah ke kamarmu. Ibumu sempat panik karena tidak melihatmu di kamar, tetapi tak lama setelahnya ia terduduk lemas di ranjang, di sebelah Ayah.

Ayah memeluk pinggang ibumu dari samping, lalu ia menyandarkan kepalanya pada bahu Ayah sambil terisak pelan.

“Aku rindu Sonya, Mas ....”

Tuh, Nak.

Bukan cuma Ayah yang rindu kamu.

Ibu juga.

Mungkin, Nenek dan Kakek juga.

Paman, Bibi, kakak-kakak sepupumu di luar kota sana.

Semua rindu Sonya.

Kamu ... tidak mau berpamitan pada kami dulu sebelum pergi jauh, Nak?

* * *

Mosaik KehidupanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang