[Dibuat pada 14 Mei 2014]
Aku selalu mengingat perkataan teman kecilku dulu. Ikuti kata hatimu, begitu katanya. Sebuah kalimat, tiga kata, delapan suku kata, dan lima belas huruf itulah yang membuatku berhasil kini. Mengubah hidupku dan membuatnya menjadi lebih baik.
Aku ini anak yang sangat penurut, dulunya. Semua kemauan Ibu dan Ayah selalu kuturuti, sekalipun aku tidak menyukainya. Aku hanya ingin menjadi anak yang patuh dan berbakti pada mereka. Hingga, aku bertemu dengan Randu ...
* * *
Lembah Permai adalah tempat paling indah yang pernah kujumpai. Rerumputan berbunga terhampar sepanjang lembah. Pohon-pohon besar berdiri berjajar di tengah lembah. Tapi hanya satu pohon yang sering kudatangi. Pohon yang tampak berbeda dari pohon-pohon lain yang berada di Lembah Permai; pohon randu. Tempat teman kecilku tinggal bersama domba-dombanya.
"Aku menyukai perbedaan," jawabnya, ketika kutanya mengapa ia memilih tinggal di bawah pohon randu. "Selain itu, namaku memang diambil dari nama pohon ini," tambahnya.
"Kenapa tidak pohon mangga atau pohon buah lainnya? Pohon randu tidak memiliki buah yang bisa dimakan," tanyaku suatu hari.
Teman kecilku terkekeh. "Aku akan dipenuhi semut jika tinggal di bawah pohon mangga."
Yang kutahu dari teman kecilku ini hanya sedikit. Ia gadis kecil pengelana yang tangguh. Kutahu dari cerita-ceritanya yang sering diceritakan untukku ketika hari sedang bagus, dan angin bertiup sepoi-sepoi.
"Aku hanya seorang gadis kecil pengelana dengan lima puluh domba," tuturnya ketika pertama kali bertemu dengannya.
Aku tertawa mendengar penuturannya. "Memang kau pernah hitung jumlah domba-dombamu itu?"
Dengan wajah polosnya, ia menggeleng. "Terakhir kali kuhitung domba-dombaku tahun lalu. Dan saat itu, jumlahnya lima puluh ekor."
Teman kecilku pernah bercerita tentang mimpinya, impiannya. Mimpinya sangatlah sederhana. Sangat sederhana untuk seorang gadis kecil yang masih punya banyak peluang.
"Aku hanya ingin menjadi seperti layang–layang lepas " ujarnya sambil memejamkan mata dan merentangkan kedua tangannya. Lantas meliuk–liukkan dirinya, seperti sebuah layang–layang lepas.
Saat itu, aku sedikit heran mendengar impiannya. Yang kutahu, gadis–gadis tidak menyukai layang–layang, apalagi ingin menjadi layang–layang lepas. Tapi Randu berbeda. Ucapannya kadang seperti orang dewasa.
Alisku bertaut. "Kenapa layang–layang lepas?"
"Layang–layang lepas itu lambang kebebasan. Ia sebenarnya bisa menentukan takdirnya, tapi ia hanya pasrah pada angin yang membawanya. Beruntung jika ia jatuh di atas permukaan laut. Ia bisa menyapa ikan-ikan dan para penghuni laun lainnya. Tapi takdir buruk bisa saja sudah menantinya. Ya, itulah hidup," jelasnya, masih tetap memejamkan mata dan membayangkan dirinya menjadi layang–layang lepas.
Penuturannya tentang 'lambang kebebasan' menggugah semangatku. Aku bisa menjadi apa saja yang kuimpikan, tanpa harus berdebat tiga puluh menit dengan Ayah dan Ibu. Layang–layang lepas, lambang kebebasan!
Suatu malam, aku membawa payungku dan berlari di tengah hujan menuju rumah teman kecilku. Aku tahu, mungkin tidur nyenyak tak akan kudapatkan malam ini. Tapi inilah gambaranku tentang kebebasan yang dimaksud Randu. Dengan kata lain, aku kabur dari rumah malam ini.
"Kau sedang apa? Bermain hujan–hujanan seperti anak kecil?" komentar Randu begitu aku sampai di rumahnya. "Rumahku jadi becek karenamu!" marahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mosaik Kehidupan
Cerita PendekKetika semua kepingan disatukan dalam satu momen, membentuk sebuah mosaik bernama kehidupan, apakah itu kabar bagus? Atau justru buruk? * * * * * [Berisi kumpulan cerpen, baik yang baru-baru ini dibuat atau yang sudah lama mendekam di laptop. Silaka...