EIGHT

324 33 0
                                    

Ujian akhir semester semakin dekat. Guru-guru semakin gencar memberikan tugas pada murid-muridnya tanpa kata akhir. Semua guru killer langsung memgembangkan senyum mereka ketika mereka masuk ke dalam kelas, karena saat mereka masuk, murid-murid sedang mengerjakan tugas. Padahal di dalam diri murid tersebut, mereka mengerjakan dengan setengah hati.

"Kantin, yuk!" ajak Kino.

"Lo ga liat gue lagi ngapain? Gue udah begadang nih, tapi belum selesai. Emang Bengbeng bajingan!" rutuk Vania.

Kino langsung menyentil bibir Vania. "Ngomong yang bener! Cantik-cantik kok kasar," ucap Kino.

"Makasih lho," Vania menyeringai tanpa melepaskan pandangannya dari laptopnya.

"Suruh bikin apa sih?" tanya Kino sambil menarik kursi.

"Jawab soal sama bikin kurva indeferen, terus ngitung kepuasan marginal, kaya ba ... yi emang." Vania menahan kata-katanya agar tidak keluar kata kasar.

"Bukannya gampang, ya, Van?" Kino menautkan alisnya.

"Yaiyalah, lo 'kan anak IPS, sedangkan gue anak IPA sejati," jawab Vania.

"Temen gue kasian banget. Sini-sini abang bantuin," goda Kino.

"Ga usah bercanda deh, Kin." Vania mencebik. Tangannya mengetikkan kata-kata di sebuah software pengolah kata yang nantinya akan ia kirimkan ke Pak Benyamin via surel.

"Ngapain juga gue bercanda? Ga penting banget. Gue serius nih, lo mau gue bantuin ngga?" Kino menyandarkan tubuhnya di sandaran kursi. Wajahnya menatap ke arah Vania.

Vania berpikir sejenak. Menimbang-nimbang tawaran sahabatnya itu. "Oke deh. Sekalian ajarin gue, ya?" Gadis itu mengeluarkan puppy eyes-nya.

Kino mulai menjelaskan hal-hal yang berkaitan dengan soal ekonomi yang sedang dikerjakan oleh Vania. Sesekali Vania memijat pelipisnya karena pening menyerangnya.

Ekonomi belum selesai, laporan kimia belum sempet dikerjain, tugas mtk ... Udah selesai sih kayanya. Tugas kelompok bareng Nathan? Oh God, why You give me suck teachers? Nathaniel, jangan males-males dong, bikin gue klenger gara-gara tugas doang bisanya, pikir Vania.

"Van, kata Feliza kemarin ada orang misterius yang ngerjain PR biologi lo sama nyiapin buku lo?" tanya Kino sambil memiringkan kepalanya.

"Bahasa lo udah kaya orang bener!" cibir Vania tanpa melepas pandangannya dari tugas. "Itu kerjaannya Nathan," lanjutnya.

"Kok lo bisa tau itu Nathan?" Lagi-lagi Kino bertanya.

"Karena Kak Azra ga akan capek-capek muter otak, jungkir balik, koprol sana sini buat ngerjain PR biologi gue. Alat reproduksi cowok aja dia masih mikir, apalagi belajar protista yang isinya nama-nama Latin semua," ucap Vania dengan tangan dan mata yang masih bekerja. "Lagian siapa lagi kalau bukan dia? Itu bocah 'kan kerajinan banget kalau udah masalah biologi. Terus kemarin gue dianterin balik sama dia. Dan pada dasarnya gue itu susah bangun, jadi dia tidak membuang tenaganya untuk membangun princess Vania dan justru membuang tenaga untuk menggendong gue ke kamar. Terus dia mungkin lagi kesambet jin, makanya baik banget sampe nyiapin buku gue segala."

Bel tanda pelajaran akan dimulai berbunyi, membuat murid-murid yang baru datang langsung mempercepat langkahnya. Siswa yang berada di kelas lain langsung berjalan menuju kelasnya. Dan, yang sedang mengerjakan tugas langsung merengut frustasi. Vania yang baru mengerjakan setengah soal, langsung memasang wajah yang campur aduk, mau nangis, kecewa, kesal, linglung, dan stres. Tak ada kesenangan yang tersirat sedikit pun. Yang bisa ia lakukan hanyalah merutuki dirinya sendiri. Kino yang menangkap mimik wajah yang begitu kacau tersebut, langsung mengelus pelan pundak gadis tersebut dan memberikan senyuman tipis yang bermakna menyemangati.

ValeNaleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang