TWO

519 56 3
                                    

Vania tengah berkutat di depan komputernya untuk membuat artikel untuk lomba antar sekolah. Ia mengetikkan berbagai kata yang terlintas di otaknya mengenai filosofi angka satu. Sesekali Ia mengerang frustrasi karena tidak dapat menemukan kata-kata yang tepat untuk menyusun artikelnya.

"Vania, Bunda jemput Ayah di bandara dulu, ya," ucap Nizma dari ambang pintu kamar Vania.

"Hah?" Vania membelalakan matanya. "Hari ini Ayah pulang?" tanya Vania tak percaya. Nizma menanggapinya dengan anggukan dan senyuman.

Tidak heran Vania begitu terkejut mengetahui Ayahnya akan pulang, karena itu hanya akan terjadi-setidaknya-tiga bulan sekali. Ayah Vania merupakan seorang chef di Swedia yang jadwal pulangnya tak menentu, kadang bisa pulang setahun sekali, kadang beberapa bulan sekali, bahkan pernah beberapa tahun sekali.

Nizma yang melihat keantusiasan anak perempuannya hanya bisa tersenyum. Di antara ketiga anak yang Ia punya, hanya Vania yang dekat dengan Adri-Ayah Vania. Ya, Vania memiliki seorang kakak dan seorang adik, jarak usia mereka pun tak terlalu jauh.

"Vania, Vale, hp gue dikemanain?" teriak Agra, adik Vania yang baru saja merasakan pubertas.

"Duh, Gra, bisa ga sih ga teriak-teriak sehari aja? Mentang-mentang suaranya ngebass. Hp lo ada di kamar Kak Azra," jawab Vania dengan dengusan kesal.

"Sorry, Kakakku yang paling cantik," ucap Agra dengan kekehan lalu mencium pipi Vania dengan cepat.

"Kayana Agra Nararya Arindi! Keluar dari kamar gue!" pekik Vania.

Agra hanya terkekeh melihat Kakaknya.

Ketika Agra sudah keluar dari kamarnya, Vania melanjutkan mengetik artikel di komputernya. Kata demi kata ia rangkai menjadi sebuah kalimat. Kalimat demi kalimat disusun menjadi sebuah paragraf. Kumpulan paragraf membentuk suatu cerita yang menarik untuk dibaca.

Seusai menyelesaikan artikelnya, Vania langsung menyimpan data tersebut, lalu ia pergi mandi. Selesai Ia membersihkan tubuhnya dari kuman, tiba-tiba ponsel Vania berbunyi tanda ada panggilan masuk. Ditekannya tombol hijau di layar ponselnya, lalu didekatkan ke telinga.

"Halo?"

["Halo, Vania, lima menit lagi gue ke rumah lo."]

"Ngapain, Kin?"

["Inget dong sekarang tanggal berapa. Udah, ah, tungguin gue. Oh, iya, lo ganti baju yang bagusan, ya."]

Sambungan telepon diputus oleh Kino secara sepihak. Vania langsung mengecek tanggal hari ini. Tanggal 10 Oktober. Vania langsung membelalakan matanya, lalu melompat dengan riang. Vania sudah berjanji pada Kino dan Feliza untuk menonton di bioskop. Langsung ia mengganti pakaian santainya dengan kaus dan celana pendek yang lebih pantas dipakai untuk berpergian.

Tok tok tok

"Van, udah belum?" tanya orang di luar.

Pasti Agra yang nyuruh Kino masuk, batin Vania.

"Ngantosan!" ucap Vania.

Dikenakan sepatu teplek berkarakter kucing yang selalu menjadi favoritnya. Dimasukkan barang-barang penting seperti dompet, ponsel, pengisi daya baterai, dan beberapa hal privasi ke dalam sebuah tas ajaib-hanya ukurannya yang terlihat kecil, tetapi muat banyak barang.

"Yuk!" ajak Vania ketika Ia sudah menampakkan diri di depan Kino.

Kino mengangguk dan berjalan menuju pintu ruang tamu rumah Vania. Vania membututi Kino di belakang.

^^^

"Mau nonton apa nih?" tanya Feliza.

"Single! Expendables!" jawab Kino dan Vania bersamaan. Mendengar perbedaan pendapat membuat mereka saling bertatapan dengan sengit.

ValeNaleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang