TWENTY FIVE

312 18 2
                                    

Prosesi pemakaman Nizma baru saja selesai. Semua mata sembap ketika mengantar Nizma untuk terakhir kalinya, tak terkecuali Nathan. Nathan ikut menangis ketika Nizma dimasukkan ke dalam liang kubur.

Vania tengah duduk diam di balkon kamarnya. Sepulang dari pemakaman ia hanya mengurung diri di kamar. Gadis itu duduk bersama kucing kecilnya dan gitar. Ia memetik asal gitarnya dan bernyanyi.

"Ngapain gue nyanyi lagu ini? Toh Bunda udah ga ada." Vania menghempaskan gitarnya ke lantai dan beralih pada kucingnya.

Vania mengelus badan kucing itu dengan penuh kasih sayang. Tak terasa air matanya jatuh ke tubuh kucing tersebut. Ia teringat sesuatu ketika ia melihat kucing mungil itu.

"Bunda suka warna abu-abu," lirihnya, buru-buru ia menghapus air matanya.

Vania menatap kosong langit biru yang bersih. Ia terus bertanya-tanya mengapa Tuhan mengambil nyawa orang yang ia sayang. Ia merasa marah dengan Tuhan, ia merasa Tuhan tidak adil. Lagi-lagi air matanya turun.

Tok tok tok

Ketukan di pintu membuat Vania tersadar dari lamunannya. Ia berjalan menuju pintu kamarnya untuk melihat siapa yang mengetuk pintu. Saat gadis itu membuka pintu, ia mendapati Satya yang sedang berdiri.

"Kenapa nangis?" Satya menghapus air mata yang membasahi pipi Vania.

Vania menggeleng.

"Lo ga boleh nangis, Van," ucap Satya.

Vania menunduk sambil terus menangis.

Satya yang tidak mau melihat Vania menangis langsung menarik tangan Vania menuju balkon kamar gadis itu. Satya menyuruh Vania untuk duduk.

"Van, dengerin gue!" ujar Satya memerintah.

Satya memegang kedua bahu Vania dan laki-laki itu menatap wajah Vania dengan tatapan seriusnya. Yang ditatap makin menundukkan kepalanya karena takut.

"Sekarang gue tanya, buat apa lo nangisin Bunda lo? Bunda lo ga butuh tangisan lo, yang dia butuh itu doa lo," ucap Satya.

"Lo enak ngomong kaya gitu. Karena lo ga ngerasain apa yang gue rasain!" bentak Vania.

"Gue pernah ngerasain apa yang lo rasain sekarang. Di saat bokap meninggal gue ngerasain hal yang sama. Gue kehilangan sosok pahlawan. Gue kehilangan figur seorang ayah di masa pertumbuhan gue. Tapi gue berusaha untuk ga ngeluarin air mata, karena gue tau bokap ga butuh air mata," kata Satya sambil terus memegangi bahu Vania.

Vania terdiam.

"Sekarang lo liat awan itu!" perintah Satya.

Vania mengikuti perintah Satya.

"Lo liat awannya deh. Mereka jalan ngikutin angin, seakan-akan mereka ga takut dengan rintangan seberat apapun. Lo seharusnya bisa kaya awan yang ga peduli seberat apapun cobaan, tetep ngejalanin hidupnya kaya biasa," kata Satya.

Vania sedikit tersadar dengan yang dikatakan Satya. Life must goes on. Vania sedikit mengembangkan senyumnya dan memperlihatkannya pada Satya.

^^^

Vania sudah kembali bersekolah setelah absen lebih dari seminggu. Beberapa pasang mata mengabsen penampilan Vania yang sangat tidak seperti biasa. Penampilannya jauh lebih berantakan dari sebelumnya. Rambut yang biasanya dikucir kuda, sekarang Vania lebih memilih dicepol. Seragamnya masih terlihat seperti biasa, tetapi Vania yang selalu membawa beberapa buku di tangannya sekarang sudah tergantikan dengan tangan yang kosong.

ValeNaleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang