SIX

332 38 1
                                    

Vania bercermin di depan cermin besar yang ada di kamarnya. Ia menatap dirinya nanar. Manik matanya memancarkan sinar tak bergairah. Memori dua hari lalu terus berputar di otaknya, seakan tak memberinya istirahat sejenak untuk memikirkan hal lain. Sakit hati masih membumbung tinggi di dalam hatinya. Perih, seperti luka yang masih baru dengan darah yang memancar keluar dari pembuluh darah yang pecah.

Ketukan di pintu membuyarkan lamunannya. Membuat gadis itu buru-buru mengambil tas sekolahnya dan berjalan keluar dari kamarnya.

"Kenapa, Kak? Sakit?" tanya Agra sambil menatap kakak perempuan yang ia sayangi itu.

Vania menggeleng. "Udah, yuk! Nanti kamu telat lho," tukas Vania dan berjalan mendahului Agra.

Vania dan Agra memasuki mobil yang sudah menyala. Di dalamnya sudah ada Nizma yang duduk di kursi kemudi.

"Bunda hari ini kerja?" tanya Agra.

"Iya. Nanti sore juga pulang," jawab Nizma sambil mengemudikan mobil sedan tersebut keluar dari garasi.

"Bun, masa aku pulang naik ojek lagi? Bun, beliin motor dong," rengek Agra.

"Agra, kamu masih kecil," ujar Nizma.

"Aku mah kecil terus di mata Bunda. Aku udah mau kelas 9. Masa Kak Azra sama Kak Vania dibeliin, aku ngga?" Agra terus merengek.

"Masih tahun depan. Lagian, sekolah kamu jauh. Nanti kalau ketilang gimana? Kamu juga Vania, Bunda udah kasih kamu motor, kok ga dipake?" Kata Nizma sambil tetap fokus menyetir.

"Takut ditilang," jawab Vania singkat.

"Sekolah tinggal belok dikit dari pintu komplek pake acara takut ditilang," ejek Nizma. Vania memang masih belum berani mengendarai motornya ke jalan raya.

Nizma memberikan Vania motor bukan tanpa tujuan. Rumah yang ditinggali mereka berada di dekat pintu komplek bagian belakang, sedangkan sekolah Vania berada di dekat pintu komplek bagian depan. Sehingga mengharuskan Vania harus berjalan atau mengayuh sepedanya sejauh lebih dari lima kilometer untuk bisa mencapai sekolahnya. Sedangkan peraturan sekolah tidak membolehkan siswa datang dalam keadaan bermandikan keringat.

Vania tak menghiraukan pembicaraan antara bunda dan adiknya. Ia hanya menatap kosong ke arah jalanan yang dipenuhi kendaraan yang lalu lalang.

Van, lo ga bisa gini terus. Lo harus bisa keluar dari keadaan ini. Percuma lo shock karena sifat Nale yang tiba-tiba berubah jadi kasar, pikirnya.

"Kak, kok bengong?" tanya Agra sambil menoleh ke arah Vania yang duduk di kursi belakang.

Vania sedikit tersentak dan langsung menggeleng. "Hah? Ga apa-apa," ujar Vania.

"Udah sampe nih. Cepetan turun, nanti Agra telat," Ucap Nizma dengan lembut.

Vania mengangguk dan menyalami tangan Nizma, lalu ia turun dari mobil dan masuk ke dalam area sekolah. Di depan pintu gerbang, Vania berpapasan dengan Nathan. Baru saja Vania ingin menyapa, ia langsung membungkam mulutnya dan lebih memilih untuk berjalan lagi.

Vania menaiki tangga dengan sedikit terburu-buru. Ia sedang tidak ingin berada di satu tempat dengan Nathan. Seperti ada sesuatu yang tidak enak ketika ia harus berada di satu kondisi dimana ia harus berdekatan dengan Nathan. Namun, secara tiba-tiba, rasa sakit hati yang mempengaruhi suasana hatinya menguap begitu saja, seakan dibawa oleh angin pagi.

Sesampainya di kelas, napasnya terengah-engah. Peluh membasahi keningnya.

"Abis ngapain, Van?" tanya Rio.

Vania menggeleng dan meletakkan tasnya di atas meja dan duduk di kursinya. Vania menyenderkan tubuhnya di sandaran kursi sambil mengambil udara sebanyak-banyaknya untuk menormalkan napasnya.

ValeNaleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang