TWENTY ONE

251 18 2
                                    

Vania sedang menunggu Satya menjemputnya untuk pergi ke sekolah. Vania menunggu Satya sambil bermain dengan seekor anjing pom-pom milik tetangganya. Tak lama kemudian, Satya datang dengan motornya. Vania langsung meninggalkan anjing sedang berlarian bersama pemiliknya dan berjalan menuju motor Satya.

"Adek gue pagi-pagi udah main kotor-kotoran," ucap Satya saat Vania sampai di depannya.

Vania menyunggingkan senyum tipis.

"Semalem lo nangis lagi, ya?" tanya Satya.

Vania menggeleng.

"Jangan bohong." Satya memegang kelopak mata bawah Vania.

Vania langsung menepis tangan Satya.

"Ga apa-apa, kok," kata Vania, "udah, yuk, berangkat."

Vania naik ke atas motor Satya. Kali ini ia tidak mengenakan helm karena Satya lupa membawanya. Satya langsung mengendarai motornya menuju sekolah.

Sesampainya di sekolah, pandangan-pandangan dan cercaan mulai sedikit berkurang. Walau masih ada, tetapi tidak secara gamblang.

"Eh liat deh, kemarin Kino, sekarang Kak Satya. Gampangan banget, ih," bisik seorang anak perempuan pada temannya.

"Iya, ih. Besok siapa lagi, ya?" balas temannya.

Vania menelan ludahnya dan menggigit bibirnya. Gosip belum reda sama sekali. Bahkan bertambah lagi.

"Jangan dipikirin. Gosip ga bakal ada ujungnya kalau diladenin," ucap Satya sambil memegang kepala Vania.

Vania menoleh ke arah Satya dan tersenyum tipis.

Setelah mereka sampai di depan kelas Satya, mereka berpencar. Satya masuk ke kelasnya, sedangkan Vania terus melanjutkan berjalan menuju kelasnya. Di sepanjang koridor, beberapa pasang mata memperhatikan Vania. Namun, yang dipandang justru menaikkan dagunya, memasang wajah paling datar, dan pandangan lurus ke depan.

Bisikan-bisikan iblis, alias gosip, beberapa kali berembus lewat telinga Vania. Tetapi Vania tak menghiraukannya, atau lebih tepatnya pura-pura tak menghiraukannya. Ia sudah lelah ribut untuk sesuatu yang mungkin tidak akan berujung.

Saat naik tangga, Vania berpapasan dengan Naila yang sedang membawa map berisi tugasnya.

"Cepu!"

Vania dapat mendengar umpatan itu. Tetapi ia memilih untuk diam. Ia sudah tidak peduli dengan omongan-omongan selanjutnya mengenai dirinya yang masih mungkin untuk beredar. Yang ia tahu hanyalah dirinya sudah merasa lega karena bisa mengeluarkan semua yang mengganjal di hatinya.

Orang Korea tau cepu juga ternyata, batin Vania meremehkan.

Sesampainya di kelas, Vania disambut oleh Sean, Rio, dan Rizi yang sedang bermain kartu UNO. Vania menyunggingkan senyum tipis untuk menyapa, lalu berlalu menuju tempat duduknya.

"Nah gitu dong, Van. Senyum," ucap Feliza dengan senyum bangga.

Vania hanya tersenyum simpul.

"Eh, btw, lo pacaran sama Kak Satya?" tanya Feliza dengan wajah yang serius.

"Tebak dong. Lo, 'kan, cenayang," ucap Vania.

"Males baca pikiran lo. Otak lo penuh banget isinya, sampe pusing nyari celahnya," ujar Feliza.

Vania terkekeh pelan. "Ngga pacaran kok. Deket aja."

"Pacaran juga ga masalah, sih. Daripada nunggu yang ga pasti." Feliza menaikkan sebelah alisnya sambil tersenyum.

ValeNaleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang